Sesungguhnya, seorang anak Adam, telah ditentukan oleh
Allah, akan dimasukkan ke Surga atau Neraka jauh sebelum mereka dilahirkan,
sebagaimana terdapat dalam hadits, “Allah menciptakan Adam, lalu ditepuk pundak
…
By Ummu Ziyad
Sesungguhnya, seorang anak Adam, telah ditentukan oleh
Allah, akan dimasukkan ke Surga atau Neraka jauh sebelum mereka dilahirkan,
sebagaimana terdapat dalam hadits,
“Allah menciptakan Adam, lalu ditepuk pundak kanannya
kemudian keluarlah keturunan yang putih, mereka seperti susu. Kemudian ditepuk
pundak yang kirinya lalu keluarlah keturunan yang hitam, mereka seperti arang..
Allah berfriman, ‘Mereka (yang seperti susu -pen) akan masuk ke dalam surga
sedangkan Aku tidak peduli dan mereka (yang seperti arang-pen) akan masuk ke
neraka sedangkan Aku tidak peduli.'” (Shahih; HR. Ahmad, ath-Thabrani dallam
Al-Mu’jamul Kabir dan Ibnu Asakir, lihat Shahihul Jami’ no: 3233)
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami duduk bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang membawa tongkat sambil
digores-goreskan ke tanah seraya bersabda,
‘Tidak ada seorang pun di antara kalian kecuali telah
ditetapkan tempat duduknya di neraka atau pun surga.’ (HR. Bukhari dan Muslim)
Setelah mengetahui bahwa seseorang telah ditentukan akan
dimasukkan ke surga atau neraka, tentu akan timbul pertanyaan dan kesimpulan
berdasarkan akal logika manusia yang lemah, “Kalau begitu buat apa kita
beramal. Nanti udah capek-capek ibadah ternyata masuk neraka” atau perkataan
semisal itu.
Pertanyaan semisal ini pun banyak ditanyakan oleh para
sahabat di berbagai kesempatan. Salah satunya adalah pertanyaan seorang sahabat
ketika mendengar pernyataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tidak ada
seorang pun di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya di neraka
atau pun surga.’
Maka para sahabat bertanya, ‘”Wahai Rasulullah, kalau begitu
apakah kami tinggalkan amal shalih dan bersandar dengan apa yang telah
dituliskan untuk kami (ittikal)?”‘ (maksudnya pasrah saja tidak melakukan suatu
usaha – pen)
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اعْمَلُوا
فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
، أَمَّا مَنْ
كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ
فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ ،
وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ
أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ .ثُمَّ
قَرَأَ ( فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى
* وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ). الآية
Beramallah kalian! Sebab semuanya telah dimudahkan terhadap
apa yang diciptakan untuknya. Adapun orang-orang yang bahagia, maka mereka akan
mudah untuk mengamalkan amalan yang menyebabkan menjadi orang bahagia. Dan
mereka yang celaka, akan mudah mengamalkan amalan yang menyebabkannya menjadi
orang yang celaka” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman
Allah, “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan
baginya jalan yang mudah.” (HR. Bukhari, kitab at-Tafsir dan Muslim, kitab
al-Qadar)
Contoh lain adalah ketika sahabat Umar bin Khaththab
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وسأله عمر هل نعمل
في شئ نستأنفه ام
في شئ قد فرغ
منه قال بل في
شئ قد فرغ منه
قال ففيم العمل قال
يا عمر لا يدرك
ذلك إلا بالعمل قال
إذا نجتهد يا رسول
الله
Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Umar: Apakah amal yang kita lakukan itu kita sendiri yang
memulai (belum ditakdirkan) ataukah amal yang sudah selesai ditentukan
takdirnya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bahkan
amal itu telah selesai ditentukan taqdirnya.”
Umar: Jika demikian, untuk apa amal?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Umar, orang
tidak tahu hal itu, kecuali setelah beramal.”
Umar: Jika demikian, kami akan bersungguh-sungguh, wahai
Rasulullah!
(Riwayat ini disebutkan oleh al-Bazzar dalam Musnadnya no.
168 dan Penulis Kanzul Ummal, no. 1583).
Sementara apa yang dilakukan sebagian orang dengan alasan
ketetapan tersebut, kemudian mereka pasrah bahkan kemudian bermudah-mudah,
bahkan melegalkan perbuatan maksiat maka hal ini tidak dibenarkan. Mereka yang
melakukan ini beranggapan, bahwa mereka berbuat maksiat tersebut karena sudah
ditetapkan, karena itu mereka tidak berdosa. Sungguh pendapat ini sangat jauh
dari kebenaran.
Untuk menjawab kerancuan ini, bahwa seseorang ketika
melakukan sesuatu, dia dihadapkan pada pilihan; melakukannya ataukah
membatalkannya. Sementara saat menghadapi pilihan tersebut, ia tidak tahu
apakah ia ditakdirkan melakukan kemaksiatan ataukah ketaatan. Kemudian, ketika
ia memilih melakukan kemaksiatan, itu merupakan pilihannya namun keduanya
terjadi berdasarkan takdir dari Allah. Lain halnya dengan orang yang dipaksa
melakukan pelanggaran, ia tidak dihukum disebabkan melakukan pelanggaran
tersebut, karena ia dipaksa melakukannya, bukan berdasarkan pilihannya sendiri.
Jawaban lain bagi orang yang menjadikan takdir Allah sebagai
pembenaran maksiat yang dilakukannya adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh
syaikh Utsaimin, bahwa ketika terjadi kasus semacam ini, kita katakan
kepadanya, “Engkau menyatakan bahwa Allah telah mentakdirkanmu untuk melakukan
maksiat sehingga engkau melakukannya, mengapa engkau tidak menyatakan
sebaliknya, bahwa Allah mentakdirkanmu untuk melakukan ketaatan, sehingga
engkau mentaati-Nya, sebab perkara takdir adalah perkara yang sangat rahasia,
tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah ta’ala saja. Kita tidak tahu apa
yang Allah tetapkan dan takdirkan itu melainkan setelah kejadiannya. Mengapa
tidak engkau hentikan saja kemaksiatan itu, lalu engkau melakukan yang
sebaliknya (ketaatan) dan setelah itu engkau katakan bawah hal ini aku lakukan
dengan sebab takdir Allah.” (Syarah Hadits Arba’in)
Ini sebagaimana seseorang yang lapar, tentu orang itu tidak
akan diam saja agar kenyang. Tetapi ia akan berusaha untuk menghilangkan rasa
laparnya itu dengan makan. Tidak mungkin ia menunggu saja hanya karena ia yakin
sudah ditakdirkan akan kenyang. Demikianlah, karena seseorang tidak tahu apakah
yang akan terjadi atau yang telah ditetapkan untuknya. Namun orang tersebut
tentu tahu, agar kenyang atau hilang rasa laparnya ia harus makan. Demikian
pula seorang mukmin, ia tahu bahwa untuk masuk surga maka ia harus berbuat
ketaatan kepada Allah.
Wallahu a’lam bi showab
***
Artikel muslimah.or.id
Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust Ammi Nur Baits
Maraji’:
Syarah Hadits Arba’in, Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin, Pustaka Ibnu Katsir
Fatawa Rasulullah, Anda Bertanya Rasulullah Menjawab, Ibnul
Qayyim,Tahqiq dan Ta’liq Syaikh Qasim ar-Rifa’i, Pustaka As-Sunnah
Shahih Ensiklopedi Hadits Qudsi, Syaikh Nashiruddin
al-Albani, Duta Ilmu
Tamasya ke Surga, Ibnu Qayyim, Pustaka Arafah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar