Jumat, 24 Juni 2016

Lingkungan Kritis, Bencana di Mana-mana, Berikut Peta Kerawanan




jateng1-Alat berat digunakan untuk memulihkan jalan yang tertimbun longsorAlat berat guna membongkar jalan yang tertimbun longsor. Foto: Nuswantoro

Hujan deras disusul banjir dan tanah longsor terjadi di berbagai daerah, dari Sumatera Barat, Jawa Tengah, sampai Sulawesi Utara. Puluhan korban jiwa berjatuhan. Rumah, harta benda dan berbagai infrastruktur rusak.
Sejak 17 Juni 2016, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dituntut sigap atas potensi hujan lebat di beberapa daerah, seperti Sumbar, Jawa, Kalimantan, Maluku dan Papua. Perintah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) agar setiap BPBD meningkatkan kesiapsiagaan, menyampaikan informasi kepada masyarakat, dan pemantauan kondisi lapangan.
”Kita siapkan tim reaksi cepat, siapkan logistik dan peralatan, aktivasi Pusdalops,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, SUtopo Purwo Nugroho saat dihubungi Mongabay.
BNPB punya peta ancaman longsor 2016 dengan penyebab fenomena EL-Nino dan La-Nina hingga sulit prediksi musim dan cuaca. La-Nina, katanya,  diperkirakan terjadi Juli-September 2016.
Sebenarnya, fenomena ini tak terlalu mengkhawatirkan jika persiapan baik, yakni, lingkungan baik, RTRW jelas, kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah.
Keadaan ini bisa berdampak positif bagi sektor pertanian,  terutama padi, jagung, dan palawija karena pasokan air tersedia. “Meski tak baik untuk komoditas tembakau dan bawang merah. Juga bagus untuk produksi listrik tenga air.”
Begitu juga, kekeringan atas kebakaran hutan dan lahan tak akan parah meskipun potensi bencana hidrometeorologi tetap tinggi. Pemerintah, katanya, harus respon cepat dan tanggap cuaca.

Sumber: BNPB
Sumber: BNPB

Dia mengatakan, bencana ekologis di Jawa tersebar pada 16 kabupaten kota di Jateng, seperti Purworejo, Banjarnegara, Kendal, Sragen, Purbalingga, Banyumas, Sukoharjo, dan Kebumen. Lalu, Wonosobo, Pemalang, Klaten, Magelang, Wonogiri, Cilacap, Karanganyar, dan Kota Solo.
Purworejo, Banjarnegara dan Kebumen daerah parah longsor. Sedang banjir terjadi di Kendal, Sukoharjo dan Kota Solo.

2016 rawan longsor
Sutopo mengatakan, 95% bencana di Indonesia itu dampak bencana hidrometeorologi seperti, banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, karhutla, dan gelombang pasang. Korban paling besar karena longsor, tahun ini sudah 99 orang tewas.
BNPB memetakan ada 274 kabupaten/kota memiliki bahaya sedang-tinggi longsor dengan perkiraan jiwa terdampak sampai 40,9 juta.
Dalam 12 tahun terakhir, sejak 2005, sebanyak 2.088 korban meninggal dan hilang karena longsor. Bencana ini mayoritas karena ulah manusia.
”Potensi longsor makin tinggi puncaknya Desember 2016, Januari-Maret 2017,” katanya. Hal ini diiringi meningkatnya fenomena La-Nina, khusus sebagian besar Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Sedangkan Sulawesi, Maluku, Papua, memiliki curah hujan tinggi.

Sumber: BNPB
Sumber: BNPB


Antisipasi
Sutopo mengatakan, sebenarnya sudah ada beberapa Landslide Early Warning System (LEWS) terpasang, tetapi warga ada yang memutus kabel karena merasa terganggu. Padahal, deteksi awal sangatlah penting dalam peringatan longsor.
LEWS terpasang banyak tak berfungsi baik. Penyebabnya, tak hanya biaya operasi dan pemeliharaan tinggi, masyarakat juga merasa tak memiliki, kerusakan teknik, bersifat proyek, dan lain-lain hingga alat tak terawat.
Berdasrkan survei LIPI dan Unesco, kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah daerah sangat rendah. Begitu juga alokasi anggaran penanggulangan bencana di BPBD. ”Masih jauh dari memadai, idealnya satu persen APBD per tahun, sekarang rata-rata 0,02-0,07% per tahun.”

Sumber: BNPB
Sumber: BNPB


Lingkungan makin kritis
Pembangunan masif di Jawa tanpa mempertimbangkan kajian lingkungan. Apalagi Jawa jadi wilayah utama pengembangan industri dan jasa.  Pembangunan infrastruktur beberapa tahun belakangan makin masif, tanpa memperhatikan wilayah sekitar.
“Jawa menurut tata ruang untuk industri dan jasa.  Padahal kondisi ekologis sudah rusak.  Eskalasi bencana makin meningkat kalau daya dukung lingkungan tak diperhitungkan, ” kata Guru Besar Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus penasehat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Soeryo Adiwibowo di Jakarta,  Rabu (22/6/16).
Idikator ini, katanya, dari tutupan hutan terus berkurang.  Pada tahun 1800-an terdapat 10juta hektar,  berkurang drastis pada tahun 1989 menjadi 1juta hektar.  Tahun 2005 tinggal 0,4juta hektar.  Dengan gencarnya pembangunan infrastruktur,  kini tutupan hutan di Pulau Jawa semakin berkurang.
Di sisi lain,  luas lahan kritis juga mengalami peningkatan. Pada 1988 ada 1.3630.600 hektar lahan kritis.  Terdiri dari 97.700 hektar di hutan, 1.262.900 hektar luar hutan.  Angka ini naik drastis pada 2002 menjadi 4.168.600 hektar. Seiring agenda pembangunan makin marak,  katanya, lahan kritis juga makin meningkat.
“Kerusakan tutupan hutan di Jawa terjadi di banyak kawasan.  Baik hutan produksi dikelola Perum Perhutani,  perkebunan, pertambangan, sekitar waduk, juga konservasi kelolaan KLHK, “katanya.

Sumber: BNPB
Sumber: BNPB

Menurut Adiwibowo, pembangunan yang menyasar Jawa bagian selatan sangat rentan. Sebab, katanya, selatan Jawa merupakan lintasan ring of fire. Jika ini berlanjut, potensi longsor dan banjir akan terus meningkat.
“Kami buat kajian degrdasri hutan dan deforestasi secara spasial dengan skenario moderat. Bukaan lahan di pantai selatan makin meningkat. Jalan pantai selatan, akan menjadi pusat pertumbuhan baru. Ini akan makin berat tekanan di pantai selatan, ” katanya.
Pada 2008, dia bersama sejumlah peneliti menunjukkan hasil kajian pada Kementerian Koordinator Perekonomian soal Jawa sudah sangat tereksploitasi. “Hasil kajian kami belum direspon baik oleh pemerintah pusat maupun daerah,” katanya. Padahal, bencana besar menyebabkan, kerugian Negara triliunan rupiah.
Dia mengatakan, bencana marak jangan dilihat hanya karena perubahan iklim saja. Pembangunan tak memperhatikan daya dukung lingkungan, ikut berperan.
Adiwibowo memprediksi kerusakan juga terjadi di banyak DAS. Dalam skenario ekstrim,  diperkirakan pada 2020 terdapat 123 DAS mengalami deforestasi tinggi, 2025 jadi 126.
Dia menyoroti banyak perda sumber daya alam tanpa memperhatikan aspek lingkungan hingga berimbas daerah-daerah makin rentan bencana.

Sumber: BNPB
Sumber: BNPB

Sepanjang 2007-2008, di Jawa, ada 278 Perda terkait pengelolaan SDA, 176 perizinan eksploitasi SDA, 85 perda kolaborasi mengajak masyarakat,  dan 17 bersifat devolusi, menyerahkan kewenangan mengelola lingkungan ke rakyat.
“Ini menunjukkan perda untuk keperluan ekonomi. Banyak perda keluar tanpa ada jaring kerjaantar dinas di pemerintah daerah.”
Persoalan lingkungan, katanya, tak memiliki batas administratif karena DAS banyak melintasi kabupaten bahkan provinsi. “Jarang yang mau berkolaborasi.Makin untuk kepentingan ekonomi, makin kecil perda dikomunikasikan dengan perda tetangga. Sedikit sekali kabupaten memperhatikan daya dukung lingkungan,”katanya.
Dia meminta pemerintah mengeluarkan daftar negatif investasi di Jawa,  terutama berkaitan ekstraksi SDA.
“Tiongkok sudah bikin daftar investasi negatif, salah satu industri semen, maka sekarang mereka berbondong-bondong ke Indonesia,” katanya.
Pemerintah katanya, harus mengetatkan daftar industri ekstraktif negatif seperti semen. Industri semen,  seharusnya tak boleh lagi di Jawa.
Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK Sri Tantri Arundhati mengatakan, bencana diperparah dampak perubahan iklim. Jadi, perlu segera adaptasi.

Sumber: BNPB
Sumber: BNPB

Perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana erat terkait dengan kebijakan, pelembagaan dan pendanaan.  Dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) sudah ada pengelolaan SDA,  lingkungan serta penanggunlangan bencana serta penanganan perubahan iklim.  Peraturan nasional,  juga sudah ada.
Hal yang pelu diperhatikan dalam mensinergikan adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana yakni, akses informasi iklim baik historis maupun proyeksi serta data bencana untuk penyusunan kajian risiko baik pemerintah pusat maupun daerah.
Dia bilang juga perlu penyediaan pedoman dan panduan kajian kerentanan risiko iklim dalam mendukung perencanaan dan penentuan prioritas aksi adaptasi. “Kebijakan alokasi anggaran yang memberikan prioritas kepada pelaksanaan program di berbagai sektor dan daerah. Juga harus bersinergi lintas sektoral,”katanya.

Sumber: BNPB
Sumber: BNPB


Peta KLHK
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK Ruandha Agung Sugardiman mengatakan, telah mengeluarkan peta posisi lahan Jawa dan Madura sejak 2003. Peta disusun dengan memadukan berbagai aspek seperti curam lereng, curah hujan,  tanah,  geologi, morfometri dan posisi DAS.
Peta ini, katanya, sudah diintegrasikan dengan peta gerakan tanah milik Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, serta peta wilayah banjir dari Bappenas.
“Peta sudah didistribusikan kepada emda sejak 2006. Dari bencana terjadi, 80-90% lokasi persis seperti di peta, “katanya.
Sosiolog Imam Prasodjo mengatakan,  perubahan iklim mempunyai efek jangka panjang jadi upaya adaptasi dan mitigasi harus siap dari sekarang.  Menyiapkan terburuk dengan harapan terbaik.
“Harus ada disaster manajemen, dana,  juga perbaikan teknologi. Kesiapan lebih serius dan langkah sistematis di semua jajaran pemerintah pusat,  daerah dan seluruh lapisan masyarakat.  Harus ada sinergi,” katanya. Jadi, rencana aksi terintegrasi dan sistematis perlu ada dalam penanganan bencana.  “Jangan sampai baru bergerak di menit terakhir.”

Tim SAR membantu mengevakuasi warga korban jbanjir di Purworejo. Foto: Nuswantoro
Tim SAR membantu mengevakuasi warga korban jbanjir di Purworejo. Foto: Nuswantoro


Prediksi BMKG
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya mengingatkan masyarakat waspada hujan lebat.
Perkiraan BMKG, Indonesia masuk kondisi hangat suhu muka air laut di atas normal perairan Indonesia barat.  Ditambah masuk aliran massa udara basah dari Samudera India di maritim kontinen Indonesia. Aliran masa udara dingin Australia di wilayah Indonesia hingga memicu peningkatan curah hujan. Dia mengingatkan potensi puncak banjir rob di Semarang, kemungkinan awal Juli.

Sumber: BNPB
Sumber: BNPB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar