|  | |||
| 
Penutupan tahun 2007 dan awal 2008 diwarnai dengan
  kisah sedih yang sering merundung bangsa ini, yakni bencana alam. Tanah
  longsor dan banjir dengan korban terbanyak di Jawa Tengah dan Jawa Timur
  tersebut telah merenggut lebih dari 100 jiwa. Belum lagi puting beliung, rob
  atau cuaca buruk di laut.  
Setidaknya 94.829 lahan pertanian di Jawa terendam
  banjir. Ribuan petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur harus menelan kegagalan
  panen padi di sawah atau hasil tambaknya. Kerugian ekonomi di kedua daerah
  tersebut diprediksi mencapai ratusan miliar rupiah.  
Seperti layaknya daerah lain, masyarakat kecil
  tersebut harus berjibaku memulihkan harta bendanya nanti pascabanjir.
  Pemerintah pun harus merogoh dana bencana alam dari APBN dan APBD. Pengalaman
  yang terus berulang, padahal beberapa kalangan telah menyarankan agar
  pemerintah menggandeng industri asuransi untuk merancang asuransi bencana.  
Hampir bisa dipastikan bahwa kerugian asuransi
  akibat bencana saat ini sangat kecil. Ini dikarenakan baik jiwa yang tewas,
  gagal panen, maupun harta benda yang rusak, tidak diasuransikan. Mayoritas
  masyarakat berpenghasilan rendah masih belum terjangkau asuransi.  
Setidaknya ada tiga sebab utama, yakni mereka belum
  sadar pentingnya asuransi, tidak mampu membayar premi, atau tidak adanya
  produk asuransi yang bisa menjangkau mereka yang sesuai dengan kebutuhan.  
Untuk bencana tsunami di Aceh tahun 2004 dan gempa
  bumi Jogjakarta tahun 2006 misalnya, klaim asuransi masing-masing hanya
  sekitar 5% dan 1,29% dari total kerugian.  
Sekadar perbandingan, gempa bumi di Northridge
  Amerika Serikat (1994), kerugian asuransi mencapai 47% dari total kerugian.
  Bahkan badai Lothar di Prancis (1999), 100% kerugian ekonomi diganti oleh
  asuransi (Eugene, 2004).  
Peran asuransi  
Asuransi hadir karena ada risiko dan ada yang
  menderita kerugian. Sayangnya di Indonesia, asuransi terkesan elitis. Polis
  asuransi dimiliki oleh korporasi atau orang-orang mampu, belum merata
  dipunyai oleh masyarakat berpenghasilan rendah.  
Akibatnya, fungsi asuransi sebagai pemindahan risiko
  atau berbagi risiko belum termanfaatkan maksimal.  
Jika penyebabnya adalah masyarakat belum sadar, maka
  kewajiban pemerintah dan industri asuransi untuk memberikan pendidikan dan
  sosialisasi intensif.  
Jika masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu
  bayar premi, kreativitas pemerintah dibutuhkan untuk mensubsidi premi bagi
  yang tidak mampu.  
Skema subsidi premi di daerah rawan bencana bisa
  dilakukan. Di era otonomi daerah, pemda bisa mengkaji intensif keuntungan
  mensubsidi premi dibandingkan dengan harus merehabilitasi pascabencana tanpa
  kontribusi industri asuransi. Jika ada bencana, pemerintah bisa berbagi
  dengan asuransi.  
Sampai saat ini, produk asuransi yang didesain untuk
  masyarakat berpenghasilan rendah masih sangat minim, hanya beberapa
  perusahaan yang mengembangkan. Padahal produk khusus dengan premi kecil,
  serta persyaratan dan pengurusan klaim yang simpel, bisa menjadi magnet untuk
  masyarakat berpenghasilan rendah.  
Asuransi mikro (microinsurance) mendesak untuk
  dikembangkan di Indonesia. Asuransi untuk masyarakat berpenghasilan rendah
  ini memang tidak terlalu menjanjikan premi signifikan.  
Dalam laporan MicroIn-surance Centre (2007) dengan
  tajuk The Landscape of Microinsurance in the World's 100 Poorest Countries,
  asuransi mikro di Indonesia relatif tidak berkembang. Inilah yang membuat
  penetrasi asuransi di Indonesia masih rendah.  
Menggeser CSR  
Corporate social responsibility (CSR) seharusnya
  tidak hanya dipahami sebagai charity, bantuan bencana, atau program bina
  lingkungan. CSR sebaiknya menjadi program berkesinambungan dan terencana.
  Paradigma CSR sebagai tanggung jawab sosial bisa bermanifestasi dalam banyak
  bentuk. Dalam industri asuransi, paradigma tersebut dapat diterjemahkan
  dengan memberikan jaminan asuransi bencana untuk daerah rawan atau
  mengembangkan asuransi mikro yang pro rakyat kecil.  
Dengan paradigma CSR, maka tidak akan menggunakan
  kalkulasi untung-rugi untuk menyelenggarakannya, sebab ini sebuah bentuk
  kepedulian. Seperti lazimnya bisnis, industri asuransi jelas akan menghitung
  keuntungan ketika akan mengeluarkan produk asuransi atau menjamin suatu
  risiko. Dengan kata lain, jika peluang kerugian sangat tinggi atau dampaknya
  sangat besar, biasanya perusahaan asuransi enggan menjaminnya.  
Bisa juga perusahaan asuransi akan menerapkan tarif
  premi atau risiko sendiri yang besar. Jika ini yang dilakukan untuk daerah
  bencana yang sebagian besar dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah,
  maka percuma saja. Masyarakat tidak akan sudi membeli polis asuransi.  
Di sinilah yang dimaksud sebagai bentuk kepedulian
  industri asuransi. Jika industri atau perusahaan lain bisa menerjemahkan CSR
  dalam bentuk bantuan, maka industri asuransi memiliki cara lain, yakni
  menjamin risiko bencana. Toh belum tentu juga bencana terjadi. Perusahaan
  asuransi belum tentu membayar klaim.  
Industri asuransi harus bermakna bagi rakyat kecil.
  Bagitu juga perannya yang dibutuhkan untuk mengembangkan asuransi mikro.
  Masyarakat sejatinya membutuhkan perlindungan dari kerugian finansial. Pelaku
  industri asuransi umum dan asuransi jiwa harus punya komitmen komunal untuk
  mengembangkan suatu produk yang terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.  
Asuransi mikro, meskipun tak menjanjikan premi besar
  layaknya premi dari sektor korporasi, tetapi akan mampu memberikan efek
  jangka panjang berupa tumbuhnya kesadaran masif berasuransi. Jika asuransi
  terjangkau secara luas, maka masyarakat akan mengenal asuransi. Pada
  gilirannya, mereka akan mengetahui manfaat positif asuransi.  
Selanjutnya, tidak mustahil mereka akan membutuhkan
  proteksi asuransi yang lebih. Mereka mungkin akan menaikkan uang/harga
  pertanggungan atau minta jaminan proteksi untuk harta bendanya yang lain.
  Selain itu, asuransi yang menjangkau keluarga, maka itu pendidikan gratis
  turun-temurun untuk anak cucu. Jadi, tanpa susah payah berpromosi, anak cucu
  dalam keluarga tersebut sudah sadar asuransi.  
Bentuk CSR di atas juga akan memberikan efek positif
  bagi industri asuransi sendiri. Jadi tidak semata-mata masyarakat
  berpenghasilan rendah yang 'diuntungkan'. CSR menjadi sarana ampuh untuk
  promosi yang akhirnya akan mampu mendongkrak premi asuransi.  
Masyarakat yang menderita akibat bencana butuh
  kepedulian semua pihak dengan caranya masing-masing. Industri asuransi,
  selain bisa memberikan bantuan donasi, juga punya cara yang khas untuk
  membantu saudara-saudara kita yang ditimpa bencana. Tinggal kemauan semua
  pihak, industri asuransi dan pemerintah. 
Munawar
  Kasan  Pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi (STMA) Trisakti | |||
Rabu, 22 April 2015
Peran asuransi dalam bencana alam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar