Sabtu, 18 Juni 2016

ASURANSI BANJIR



0
100_0105xx
Manusia ternyata senang akan penghancuran diri sendiri, meski sebagian besar terjadi karena ketidaktahuannya dan mungkin oleh sifat keserakahannya. Sehingga melihat kehidupan ini hanya dalam skala kurun waktu pendek saja. Berbagai peradaban di dunia ini telah pupus dan lenyap karena ulah manusia. Bahkan, berbagai bencana alampun terjadi juga karena ulah manusia, meskipun kebanyakan dari mereka mengingkarinya.
Banyak bangunan bersejarah yang memiliki nilai arsitektur adiluhung, dihancurkan dengan alasan macam-macam, yang sebenarnya hanya untuk pemenuhan perut belaka.  Banyak lahan produktif yang kemudian mati karena ulah manusia, lahan yang tidak layak untuk huni-pun ada yang dipaksakan untuk menjadi hunian, dengan rasionalisasi demi kesejahteraan, demi pemenuhan kebutuhan akan rumah, tetapi senyatanya adalah untuk pemenuhan perut belaka. Tak ada tanggung jawab sama sekali dari developer setelah kompleks perumahan itu dihuni oleh para pembeli rumah. Dibiarkannya kawasan menjadi sengsara, menjadi rapuh, menjadi tua tanpa dipelihara, dilupakan begitu saja. Semisal Kota Lama di Semarang, yang kaya dengan ragam arsitektur yang indah, dibiarkan merana tanpa pemeliharaan dan perhatian sama sekali dari pemangku jabatan pemelihara kehidupan kota. Lebih tragis lagi ada kompleks permukiman yang belum lama dibangun, sekarang menjadi wilayah yang selalu tergenang air laut pasang (rob) setiap bulannya, tanpa ada usaha untuk mencarikan solusi yang mantab guna menunjang keberlanjutan kehidupan yang telah terjadi. Permukiman dibiarkan merana tergenang banjir ‘rob’ setiap bulannya, dan semakin tahun semakin tinggi saja ‘rob’ itu menggenangi permukiman mereka, padahal ketika pertama kali dihuni, tidak terlihat ada tanda-tanda bahwa daerah itu termasuk daerah yang nantinya akan tergenangi banjir air laut pasang. Daerah seperti ini biasanya pada awal pembangunannya sangat menarik, memiliki udara yang segar karena angin selalu bergerak dari laut menuju darat atau sebaliknya dari darat menuju laut, sehingga panasnya matahari menjadi hilang seiring dengan bertiupnya angin yang kencang. Tetapi tak berapa lama setelah dihuni, ketika angsuran-pun belum lunas, daerahnya sudah berubah menjadi daerah genangan banjir yang sangat mengganggu. Pemukim berlomba-lomba untuk meninggikan jalan depan rumah, meninggikan halaman, membuat tanggul, mengubah rumah menjadi bangunan bertingkat, dan seterusnya. Mengerikan, berapa uang yang habis dikeluarkan untuk perlindungan diri terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi, kapan mereka mampu bertahan, alangkah tidak sehatnya lingkungan permukiman yang selalu tergenang banjir seperti ini.
Asuransi Banjir
Kota Semarang sekarang sedang mempersiapkan diri untuk membangun waduk, diharpakan dengan adanya waduk ini dapat mengurangi banjir Semarang, terutama pada saat musim hujan tiba. Tetapi harus diingat pula bahwa banjir di Semarang sebenarnya bukan sekedar datang dari pada saat hujan saja. Ada tiga tipe banjir di Semarang, pertama banjir kiriman, banjir yang datang dari atas; kedua adalah banjir lokal, banjir akibat dari hujan lokal; dan ketiga yaitu banjir air laut pasang, inilah yang paling banyak mengganggu masyarakat perkotaan di Semarang.
Sebutan Semarang Kaline Banjir, yang menjadi lagu langgam Jawa yang sangat populer pada tahun 1970 – 1980an, ternyata benar adanya, dan bukan sekedar kali/sungai yang banjir, melainkan laut-pun membanjiri kota Semarang. Dengan bentuk bentang lahan yang berupa bukit dan dataran, Semarang memang menjadi kota yang menarik dan indah, tetapi ada konsekuensinya juga yaitu air yang datang dari atas secara cepat akan turun ke bawah, dan di bawah akan berjalan lambat menuju ke laut, sehingga wajar kalau terjadi penumpukan air di wilayah dataran ketika musim hujan. Dengan kondisi tanah yang masih muda di wilayah sepanjang pantai Kota Semarang, maka mudahlah terjadi penurunan muka tanah akibat banyaknya beban yang ditampung di daerah yang berbatasan dengan laut (pantai), sehingga ketika air laut mengalami pasang, masuklah air laut ke daratan menimbulkan banjir yang oleh masyarakat Semarang disebut dengan istilah ‘rob’.
Bhoem Blanchard dkk, dalam tulisannya di Journal Applied Geography volume 21 (2001), menceritakan bahwa di Nevada Amerika Serikat sekitar tahun 1960an pernah terjadi banjir besar. Ternyata makin tahun makin melebar wilayah banjirnya, meskipun pemerintah lokal sudah berusaha untuk mengelimir wilayah sebaran banjir. Akhirnya, agar masyarakat tetap mau tinggal di Nevada, pemerintah menetapkan adanya pertanggungan dari developer untuk membuat asuransi banjir, hal ini untuk menjamin bahwa lokasi yang telah dibangun supaya benar-benar dijaga dari gangguan genangan banjir secara serius. Perusahaan asuransi setempat akan menetapkan besaran nilai pertanggungan sesuai dengan lokasi yang dipilih oleh developer sebagai kawasan permukiman. Hal tersebut memang menjadikan harga jual rumah jadi lebih mahal, tetapi kalau terjadi banjir para penghuni bisa melakukan klaim atas kerugian akibat banjir tersebut. Daripada harganya murah, tetapi lima tahun mendatang nilainya merosot tajam karena menjadi daerah yang selalu tergenang banjir, sehingga tidak laku jual. Hal ini di Semarang sudah terjadi yaitu di beberapa wilayah sekitar Tanah Mas, harga rumah dan tanah sangat merosot, tidak sebanding dengan investasi yang telah ditanamkan sebelumnya.
Pembuatan waduk di kota atas Semarang untuk mengurangi resiko banjir kiriman dan menambah tinggi potensi air tanah bagi Kota Semarang adalah usaha yang baik, tetapi tidak ada sesuatupun di dunia ini yang tanpa resiko, Situ Gintung yang sudah ada sejak puluhan tahun silam ternyata bisa longsor juga. Maka alangkah baiknya kalau sekarang di Semarang disosialisasikan adanya asuransi banjir untuk permukiman di wilayah bawah rencana waduk tersebut. Kalau perlu juga untuk pembangunan permukiman baru di sekitar pantai kota Semarang. Dengan adanya asuransi ini, para developer akan memilih lokasi dengan sangat teliti, sebab kalau lokasi yang dipilih memiliki nilai resiko banjir yang tinggi terhadap kemungkinan terjadinya banjir, maka biaya asuransinya pasti akan mahal, maka berakibat pada mahalnya harga jual rumah, yang berarti keuntungan akan berkurang atau bahkan rumah bisa tidak laku kalau harga mahal dan kualitas hanya segitu saja. Tanpa asuransi, para developer ‘nakal’ akan dengan seenaknya memilih lokasi permukiman tanpa memperhatikan keselamatan penghuni selanjutnya.
Kalau pemerintah pusat secara nasional akan mencanangkan adanya asuransi gempa, maka untuk kota Semarang ada baiknya ditetapkan adanya asuransi banjir, sehingga meskipun Semarang selalu kaline banjir, hal ini tidak akan mengurangi minat pembeli dari luar kota untuk memilik rumah di Semarang, dan tidak akan menyengsarakan masyarakat Semarang, karena rumah dan lingkungannya sudah sudah diasuransikan terhadap bahaya banjir.
PARFI KHADIYANTO, dosen FT UNDIP Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar