ABSTRAK
Kebijakan K3 nasional merupakan upaya untuk melindungi, menjamin dan meningkatkan keselamatan, kesejahteraan dan produktifitas setiap tenaga kerja di berbagai bidang pekerjaan. Untuk mencapai tujuannya, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Kepmen, dan Perda. Namun pada kenyataannya implementasi kebijakan dilapangan masih belum efektif dibuktikan dengan tingginya tingkat kecelakaan kerja diberbagai bidang pekerjaan. Metode yang penulis gunakan disini adalah metode studi pustaka dari berbagai sumber seperti buku, surat kabar, perundang-undangan dan informasi dari website lembaga-lembaga yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan keselamatan kerja. Dari studi tersebut penulis mendapatkan hasil bahwasanya tingkat kecelakaan kerja di indonesia masih sangat tinggi. Hal itu disebabkan oleh beragam faktor seperti kesadaran diri tentang pentingnya K3 masih kurang, Pengawasan dari lembaga terkait yang belum optimal, serta sarana prasarana yang disediakan perusahaan seperti APD yang belum standar. Selain itu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dinilai kurang dalam hal peringatan terhadap perusahaan yang memiliki angka kecelakaan kerja tinggi. Agar kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat diminimalisir perlu kesadaran dan peran aktif dari semua warga perusahaan karena sebaik-baik nya kebijakan yang dibuat tanpa kesadaran dan peran aktif dari semua warga perusahaan tidak akan berjalan dengan baik.

Kata kunci : Kebijakan K3, Implementasi Kebijakan K3, Undang-Undang Kecelakaan Kerja










PENDAHULUAN

Badan Pusat Stastistik (BPS) mencatat jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Agustus 2013 mencapai 188,80 juta orang.
Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri (as citied in Pos Kota 2016) dalam Bulan K3 tahun 2016 di kantor Kemnaker, Gatot Subroto , Jakarta, Selasa (12/1) mengatakan bahwa “UU No1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, genap berusia 45 tahun, namun pelaksanaan UU tersebut masih belum diterapkan secara maksimal. Angka kecelakaan kerja terjadi di beberapa sektor usaha masih tinggi.” (Pos Kota 2016)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mencatat, secara nasional BPJS Ketenagakerjaan telah menangani 105.383 kasus kecelakaan kerja hingga tahun 2014 lalu. Dari jumlah itu, tercatat kasus cacat fungsi berjumlah 3.618 kasus, cacat sebagian berjumlah 2.616 kasus, cacat total berjumlah 43 kasus, dan meninggal dunia sebanyak 2.375 kasus. Adapun hingga Maret 2015, BPJS Ketenagakerjaan telah menangani sebanyak 38 kasus JKK-RTW (Return To Work). Salah satu penyebab kejadian ini adalah pelaksanaan dan pengawasan K3 yang belum maksimal, sekaligus perilaku masyarakat industri pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, belum optimal. Peristiwa kecelakaan tersebut harus dijadikan pelajaran yang sangat berharga agar tidak terulang kejadian yang sama. Untuk itu, peningkatan upaya-upaya K3 masih terus dibutuhkan dalam mencegah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. (BPJS Ketenagakerjaan)
Data tersebut hanya menyebutkan angka kecelakaan kerja yang berupa cidera fisik seperti tertimpa, terpotong, luka, terbakar dan lain sebagainya. Data yang disebabkan oleh kondisi kerja yang tidak aman dan bersifat kronis yang baru dapat diketahui dalam jangka panjang belum disebutkan.
Meskipun demikian, setidaknya telah mencerminkan bahwa manejemen K3 yang ada di indonesia masih lemah, baik dari segi pengawasan oleh pemerintah, kebijakan yang dikeluarkan perusahaan maupun dari segi implementasinya.
















PEMBAHASAN

Pengertian Kebijakan
            Menurut Lasswell (1970): Kebijakan adalah sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah (a projected program of goals values and practices).
Menurut  Anderson (1979): kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang mesti diikuti dan dilakukan oleh para pelakunya untuk memecahkan suatu masalah (a purposive corse of problem or matter of concern).
Menurut  Heclo (1977): kebijakan adalah cara bertindak yang sengaja dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah-masalah.

Menurut  Eulau (1977): kebijakan adalah keputusan tetap, dicirikan oleh tindakan yang bersinambung dan berulang-ulang pada mereka yang membuat dan melaksanakan kebijakan.

Menurut  Amara Raksasa Taya (1976): kebijakan adalah suatu taktik atau strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan.

Menurut  Friedrik (1963): kebijakan adalah serangkaian tindakan yang diajukan seseorang, group, dan pemerintah dalam lingkungan tertentu dengan mencantumkan kendala-kendala yang dihadapi serta kesempatan yang memungkingkan pelaksanaan usulan tersebut dalam upaya mencapai tujuan.

Menurut  Budiardjo (1988): kebijakan adalah sekumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Menurut  Carter V. Good (1959): kebijakan adalah sebuah pertimbangan yang didasarkan atas suatu nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situasional, untuk mengoperasikan perencanaan yang bersifat umum dan memberikan bimbingan dalam pengambilan keputusan demi tercapainya tujuan.

Menurut  Indrafachrudi (1984): kebijakan adalah suatu ketentuan pokok yang menjadi dasar dan arah dalam melaksanakan kegiatan administrasi atau pengelolaan.

Menurut Carl Friedrich: Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.

Menurut PBB: Kebijakan adalah suatu deklarasi mengenai dasar pedoman (untuk) bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana.
Menurut KBBI: Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis dan dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, serta cara bertindak (tetang perintah, organisasi, dan sebagainya).

Menurut Anderson: Kebijakan adalah suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah.

Menurut Mustopadidjaja: Kebijakan adalah keputusan suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu sebagai keputusan atau untuk mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam :
  1. pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun (unit) organisasi pelaksana kebijakan.
  2. penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun dengan kelompok sasaran yang dimaksudkan.
Menurut pendapat berberapa ahli mengenai kebijakan diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan atau keputusan yang mempunyai tujuan yang terarah dalam suatu organisasi dalam ruang lingkup tertentu yang menjadi dasar untuk memecahkan suatu permasalahan.

Pengertian K3
Menurut Mangkunegara, keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan makmur.

Menurut Suma’mur (1981: 2), keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.

Menurut Simanjuntak (1994), keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja

Mathis dan Jackson, menyatakan bahwa keselamatan adalah merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cidera yang terkait dengan pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum.

Menurut Ridley, John (1983), mengartikan kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.

Pengertian keselamatan dan kesehatan kerja menurut Keputusan Menteri
Tenaga Kerja R.I. No. Kep. 463/MEN/1993 adalah keselamatan dan kesehatan kerja adalah upaya perlindungan yang ditujukan agar tenaga kerja dan orang lainnya di tempat kerja /perusahaan selalu dalam keadaan selamat dan sehat, serta
agar setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien.

Lalu Husni, 2003: 138, ditinjau dari sudut keilmuan, kesehatan dan keselamatan kerja adalah ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah ilmu dan penerapannya untuk menciptakan dan menjamin kondisi dalam pekerjaan yang sehat baik jasmani maupun rohani, efisien dan terkendali bagi pekerja, peralatan, perusahaan, dan lingkungan untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja ditempat kerja.

Pengertian Kebijakan K3
Berdasarkan simpulan-simpulan diatas dapat disimpulkan bahwa Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah serangkaian tindakan dan keputusan yang bertujuan menciptakan dan menjamin kondisi dalam pekerjaan yang sehat baik jasmani maupun rohani,efisien dan terkendali bagi pekerja, peralatan,perusahaan dan lingkungan untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di tempat kerja.
Oleh sebab itu, Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja sangat penting dan menjadi landasan utama perusahaan yang diharapkan dapat menggerakkan semua warga perusahaan sehingga program Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang diinginkan dapat berjalan dengan baik.
Walaupun demikian, suatu kebijakan harusnya tidak hanya hitam diatas putih saja tanpa implementasi dan komitmen yang berkelanjutan sehingga kebijakan tersebut hanya akan sia-sia tanpa memberi suatu manfaat, karena tanpa komitmen yang kuat suatu kebijakan tidak akan berhasil dengan baik.
Peran Pimpinan Terhadap Kebijakan K3
Tanpa komitmen dari semua warga perusahaan khususnya para pimpinan, pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja tidak akan berjalan dengan baik. “Semboyan bahwa “keselamatan harus mulai dari atas” menunjukkan secara tegas pentingnya peranan pemimpin perusahaan bagi keberhasilan program keselamatan. Pimpinan atau pengawas kelompok tenaga kerja, ahli kesehatan dan staf lainnya tidak pernah berhasil banyak apabila pimpinan perusahaan tidak mengambil tugas kepemimpinan dalam meningkatkan dan mempertahankan standar keselamatan yang tinggi.” (suma’mur, 1981 : 311)
Komitmen mengenai Kesehatan dan Keselamatan kerja tidak hanya diintruksikan setiap apel pagi dan penempelan poster-poster di dinding perusahaan saja, tetapi harus diimplementasikan dalam tindakan dan sikap sehari-hari semua warga perusahaan. Berbagai bentuk komitmen yang dapat diimplementasikan oleh pimpinan dalam tindakan dan sikap sehari-hari adalah
  1. Dengan memenuhi semua ketentuan Kebijakan dan Keselamatan Kerja yang telah diatur dalam undang undang, seperti prosedur penggunaan alat, standarisasi Alat Pelindung Diri, dan berbagai persyaratan lainya.
  2. Menjadi contoh bagi semua warga perusahaan perilaku sehari-hari yang mencerminkan kebijakan K3 yang diterapkan.
  3. Memasukkan Kesehatan Dan Keselamatan kerja dalam setiap kesempatan, rapat, apel pagi, Monitoring, dan berbagai pertemuan lainya.
  4. Secara berkala dan konsisten mengkomunikasikan keinginan dan harapannya mengenai Kesehatan dan Keselamatan Kerja kepada semua warga perusahaan.
  5. Melibatkan diri dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan Kesehatan dan Keselamatan Kerja seperti audit Keselamatan dan Kesehatan kerja dan kampanye pentingnya Kesehatan dan Keselamatn Kerja.
  6. Memberi dukungan nyata dalam bentuk sumberdaya yang diperlukan untuk terlaksananya Kesehatan dan Keselamatan Kerja di perusahaan.
  7. Menyediakan Fasilitas pendukung seperti unit kesehatan dan pengecekan kondisi kesehatan warga perusahaan yang dilakukan dengan interval waktu tertentu.
Pembuatan Kebijakan K3
Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan kerja seharusnya dibuat berdasarkan konsultasi antara pengurus dan wakil tenaga kerja dengan berlandaskan undang undang yang mengatur tentang pembuatan Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang kemudian harus disebarluaskan kepada semua warga perusahaan. Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja harus selalu ditinjau ulang dalam interval waktu tertentu dalam rangka peningkatan kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Maka dari itu Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan kerja harus tertulis agar mudah dalam melakukan peninjauan ulang dan alasan lain Kebiajakan K3 harus tertulis karena :
  1. Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja sebagai pedoman kerja sehari-hari.
  2. Mempermudah dalam pelaksanaan dan pengawasan
  3. Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan Kesehatan dan keselamatan kerja perusahaan.
  4. Mempermudah pekerja untuk mengikuti ketentuan dan peraturan kesehatan dan Keselamatan kerja
Dalam membuat sebuah kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja perlu memperhatikan berbagai aspek berikut seperti :
  1. Singkat dan menggunakan diksi yang mudah dipahami. Hal ini dimaksudkan agar pembaca dapat secara mudah memahami apa yang menjadi tujuan dari kebiajakan yang dibuat.
  2. Menetapkan bagaimana mengatur pelayanan kesehatan kerja.
  3. Mengalokasikan berbagai tanggung jawab terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja dalam perusahaan.
  4. Memastikan agar kebijakan yang dibuat dapat diketahui semua warga perusahaan.
  5. Menetapkan tindakan-tindakan yang dapat diambil ketika terjadi kecelakaan kerja.
  6. Kebijakan dapat dinyatakan dalam bentuk pernyataan visi dan misi sebagai suatu dokumen yang mencerminkan nilai Kesehatan dan Keselamatan Kerja perusahaan.
  7. Menegaskan tugas dan tanggung jawab pimpinan departemen/bagian Kesehatan dan Keselamatan kerja sebagai penggerak utama dalam proses mensosialisasikan tujuan-tujuan kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
  8. Dicetak alam bahasa atau media yang mudah dipahami dan dapat diberi gambar-gambar untuk memepermudah pemahaman.
  9. Harus di sosialisasikan ke berbagai sudut perusahaaan agar semua warga perusahaan mempunyai kesempatan yang sama dalam mengetahui Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja perusahaan.
  10. Dalam pemasangannya harus diperhatikan faktor ergonomi dan penempatannya dapat dibaca dengan mudah agar tujuan kebijakan yang dimaksud dapat dimengerti secara maksimal.

Kriteria Kebijakan K3
Sebuah kebijakan yang baik harus memenuhi beberapa kriteria antara lain :
  1. Sesuai dengan resiko yang ada dalam perusahaan.
Kebijakan K3 tentu berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain, tergantung jenis bahaya yang ada dalam sebuah perusahaan tersebut. Sebagai contoh perusahaan yang bergerak dibidang kontraktor instalasi listrik akan mempunyai kebijakan yang berbeda dengan perusahaan/instansi pelayanan kesehatan masyarakat. Jika pada perusahaan kontaktor instalasi listrik akan membuat kebijakan tentang bahaya instalasi di gedung bertingkat maka pada perusahaan pelayanan kesehatan masyarakat tidak membuat kebijakan seperti itu, akan tetapi membuat kebijakan mengenai bahaya terhadap penularan penyakit tertentu oleh pasien. Kebijakan yang sesuai dengan resiko yang ada akan membuat kebijakan tersebut efektif dan bermanfaat.

  1. Menyesuaikan perkembangan teknologi.
Teknologi yang digunakan disebuah perusahaan semakin berkembang dewasa ini, sehubungan dengan itu kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja perlu mengikuti teknologi yang ada. Sebuah inovasi teknologi baru akan mempunyai resiko yang berbeda dengan teknologi sebelumnya maka perusahaan harus selalu menyesuaikan kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja seiring dengan berkembangnya teknologi yang dipakai dalam suatu perusahaan.

  1. Didokumentasikan, diimplementasikan dan dipelihara.
Kebijakan yang dibuat seharusnya didokumentasikan, artinya kebijakan tersebut dikemas dalam sebuah poster ataupun prosedur-prosedur penggunaan suatu alat yang dapat memberikan informasi kepada pembaca bahwa diperusahaan tersebut terdapat kebijakan yang harus diimplementasikan dan ditaati dalam setiap kegiatannya oleh semua warga perusahaan. Selain itu semua warga perusahaan wajib mempelihara kebijakan-kebijakan tersebut demi keselamatan dan kesehatan kerja semua warga perusahaan.

  1. Dikomunikasikan dengan baik.
Kebijakan yang dibuat telah dikomunikasikan kepada seluruh warga perusahaan dengan tujuan seluruh warga perusahaan memahami maksud dan tujuan kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja tersebut. Hal ini dapat dilakukan oleh pimpinan ataupun lembaga terkait yang bertanggung jawab atas kesehaatan dan keselamatn kerja di perusahaan tersebut dengan cara mengingatkan setiap apel pagi ataupun monitoring secara langsung saat karyawan bekerja.

  1. Telah disosialisasikan.
Kebijakan yang telah dibuat seharusnya telah disosialisasikan kepada seluruh warga perusahaan sehingga mereka tidak hanya mengetahui saja namun telah mempunyai kompetensi untuk mengimplementasikan secara baik dan benar dalam kegiatan setiap harinya. Ini dapat dicapai dengan adanya pelatihan dan sosialisasi singkat terhadap kebijakan yang ada.


  1. Kebijakan yang dibuat mencakup Kesehatan dan Keselamatan kerja pihak lain yang terlibat.
Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang dibuat harus mengatur pihak lain yang terlibat seperti mitra bisnis, masyarakat sekitar, pemasok, pelanggan dan lain-lain yang tak jarang terlibat dalam perusahaan. Selain itu memastikan juga untuk mensosialisasikannya kepada pihak tersebut agar mereka mengetahui dan dapat mengimplementasikannya.

  1. Ditinjau ulang dengan interval waktu tertentu.
Kebijakan yang dibuat perlu ditinjau ulang dengan interval waktu tertentu untuk melihat apakah kebijakan tersebut masih relevan. Peninjauan ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang ada masih sesuai dengan teknologi dan kondisi yang ada. Sehingga kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan tepat dan efisien. The main objectives of such monitoring are to:
  1. identify real hazards;
  2. determine the level of workers’ exposure to harmful agents;
  3. prove compliance with regulatory requirements;
  4. assess the need for control measures; and
  5. ensure the efficiency of control measures in use. (Benjamin O. Alli, 2008: 68)

  1. Berlandaskan perundang-undangan yang berlaku.
Sebuah kebijakan seharusnya dibuat dengan pedoman Undang-undang yang berlaku di indonesia. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan yang dibuat sesuai dan sejalan dengan undang-undang, serta kebijakan yang dibuat tidak menyalahi undang-undang, tidak menyalahi disini dalam artian kebijakan yang dibuat benar-benar mementingkan kesehatan dan keselamatan kerja seluruh warga perusahaan.
Perundang-undangan dalam Keselamatan Kerja
Undang- Undang Dasar 1945 menerangkan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi setiap warga negara. Apabila keselamatan tenaga kerja sebagai pelaksanaannya adalah terjamin maka akibat kecelakaan kerja seperti cacat, kematian dan penyakit akibat kerja bertentangan dengan undang-undang dasar 1945. Atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 maka lahirlah berbagai undang-undang dan peraturan yang mengatur tentang keselamatan tenaga kerja di Indonesia. “Pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia.” ( Bab II Pasal 2 UU No. 13 Th. 2003)
Di indonesia, terdapat undang- undang khusus yang memang sengaja dibuat untuk membahas menegenai kesehatan dan keselamatan kerja. Setidaknya terdpat 5 landaasn dasasr undang- undang yang mengatur kesehatan dan keselamatan kerja, diantara undang- undang tersebut adalah :
  1. Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
  2. Undang- Undang No. 3 Tahun 1969 Tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 120 Mengenai Higiene Dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor.
  3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
  4. Undang- Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
  5. Undang- Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan undang-undang lainnaya.
Pentingnya Perundang-undangan Keselamatan Kerja
            Keberadaan dan ditaati nya sebuah undang-undang beserta peraturan –peraturan dalam pelaksanaanya menjadi hal yang sangat penting dan wajib dalam penyelenggaraan kesehatan dan keselamatan kerja. Tanpa undang undang yang mengatur maka suatu kebijakan yang dibuat perusahaan tidak akan tepat sasaran dan bahkan bisa berpihak kepada perusahaan bukan berpihak kepada kesehatan dan keselamatan kerja tenaga kerja. Selain dalam pembuatan, dalam implementasi suatu kebijakan juga memperlukan undang-undang untuk mengatur tentang pengawasan dan tindak lanjut jika terjadi pelanggaran. Maka dari itu perlu adannya undang undang yang mengatur tentang segala hak dan kewajiban tenaga kerja untuk mendapatkan perlindungan terhadap keselamatan kerja. Seperti yang diatur dalam undang undang No. 14 Tahun 1969 tentang ketentuan ketentuan pokok mengenai tenaga kerja.
  1. Tiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama (Pasal 9)
  2. Pemerintah membina perlindungan tenaga kerja yang mencakup :
  3. Norma kesehatan dan higiene perusahaan
  4. Norma keselamatan kerja
  5. Norma kerja
  6. Pemberian ganti kerugian, perawatan dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan kerja (Pasal 10)
Meski undang- undang No. 14 tahun 1969 ini telah dicabut dan digantikan oleh undang- undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan namun perlu digaris bawahi jika ketentuan dasar dari undang- undang No. 14 Tahun 1969 ini menjelaskan bahwa kesehatan, keselamatan, kesehatan moral dan kesusilaan tenaga kerja adalah hak seluruh tenaga kerja serta pemerintah berperan dalam melindungi seluruh hak tenaga kerja. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa keberadaan undang- undang sangat perlu dan penting dalam proses penyelenggaraan kesehatan dan keselamatan kerja untuk melindungi segala hak tenaga kerja yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamtan kerja baik fisik maupun moral, serta untuk mengatur dalam pembuatan kebijakan K3 diperusahaan maupun dalam implementasi dan pengawasannya.


Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
            Pembangunan ketenagakerjaan merupakan salah satu upaya pemerintah dalam upaya pembangunan nasional yang berdasarkan pancasila dan undang- undang dasar negara republik indonesia yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata serta untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja. ( pertimbangan UU No. 13 Th. 2003 ). Pembangunan ketenagakerjaan memang harus diatur sedemikian rupa agar hak- hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dapat terpenuhi, ini juga merupakan salah satu upaya pemerintah dalam pembangunan nasional sektor ketenagakerjaan.
Ketentuan umum UU No. 13 Th. 2003 memberikan pengertian bahwa ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelumm selama, dan sesudah masa kerja. Sedangkan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Dan pekerja/buruh adlah setiap orang yang bekrja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. ( Pasal 1 ).
UU No. 13 Th. 2003 ini menegaskan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memeperoleh perlindungan atas :
  1. Keselamatan dan kesehatan kerja.
  2. Moral dan kesusilaan.
  3. Perlakuan dan sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. ( Pasal 86 ayat 1 ).
Pada pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan kerja sehingga jika keselamatan tenaga kerja pada suatu perusahaan tidak terpenuhi maka tenaga kerja berhak menuntut perusahaan untuk diselenggarakan upaya kesehatan dan keselamatan kerja. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktifitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja (Pasal 86 ayat 2) upaya keselamatan dan kesehatan kerja yang dimaksud adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan para pekerja dengan cara pencegahan penyakit akibat kerja, pencegahan terjadinya kecelakaan kerja, pengendaian bahaya di tempat kerja serta pengobatan/penanganan jika terjadi kecelakaan kerja. Agar tujuan ini dapat tercapai maka perusahaan harus menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja agar pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja dapat berjalan maksimal dan mempunyai struktur yang jelas. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. (Pasal 87 ayat 1). Dalam pasal 87 ayat 1 ini yang dimaksud sistem manajemen keselmatan dan kesehatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko agar terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. (penjelasan pasal 87 ayat 1). Dengan kata lain setiap perusahaan harus benar-benar seriuas dalam menanggapi masalah keselamatan dan kesehatan pekerjanya dengan menerapkan sistem manajemen yang bagus dan bisa diandalkan dari struktur organisasi, prosedur, perencanaan, pelaksanaan hingga sumber daya untuk mengembangkan penerapan dan pemeliharaan infrastruktur K3 dalam perusahaan untuk meminimalisir resiko sehingga tercapainya kondisi yang aman, efisien dan produktif. Disisi lain implementasi K3 yang baik dan handal juga akan memberikan rasa kenyamanan dan kepercayaan tenaga kerja terhadap terjaminnya keselamatan dirinya, tentu hal itu akan memberikan dapak posistif bagi perusahaan dengan produktifitas tenaga kerja yang tinggi.
Selain dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja UU No. 13 Tahun 2003 juga memuat ketentuan bagi tenaga kerja penyandang cacat. Pengusaha yang memperkerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. (Pasal 67 Ayat 1)
Di indonesia banyak sekali anak dibawah umur yang sudah bekerja, ini terjadi karena angka kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi. Padahal masa itu adalah masa dimana mereka seharusnya sekolah menuntut ilmu dan hal ini juga dilarang olah UU No. 13 tahun 2003. Pengusaha dilarang memperkerjakan anak. (pasal 69 ayat 1) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial (pasal 69 ayat 2) pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
  1. Izin tertulis dari orang tua atau wali.
  2. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali.
  3. Waktu kerja maksimal 3 (tiga) jam.
  4. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.
  5. Keselamatan dan kesehatan kerja.
  6. Adanya hubungan kerja yang jelas
  7. Menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku. (pasal 69 ayat 2)
Secara keseluruhan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini sangat melindungi dan menjamin hak- hak tenaga kerja tak hanya pada keselamatan dan kesehatan kerjanya saja namun tentang perlindungan bagi tenaga kerja penyandang cacat dan perlindungan terhadap memperkerjakan anak dibawah umur. Selain itu UU no. 13 Tahun 2003 ini juga melindungi dan mengatur tentang segala aspek yang berhubungan dengan ketenagakerjan seperti kesempatan dan perlakuan yang sama, perncanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjan, Pelatihan kerja, penempatan tenaga kerja, perluaan keempatan kerja, penggunaan tenaga kerja asing, hubungan kerja, perlindungan pengupahan dan kesejahteraan, tenaga kerja perempuan, waktu kerja, hubungan industrial, serikat pekerja, organisasi pengusaha, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerja sama tripartit, peraturan prusahaan, perjanjian kerja bersama, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, penutupan perusahaan, pemutusan hubungan kerja, pembinaan, pengawasan, penyidikan, ketentuan pidana dan sangsi administratif dan ketentuhan peralihan.
Secara keseluruhan UU No. 13 Tahun 2003 ini sudah sangat baik dalam mengatur dan melindungi hak para pekerja sehingga dengan UU No. 13 Tahun 2003 ini seharusnya para pekerja Indonesia tidak ada yang mempunyai masalah dalam memeperoleh hak-haknya terkhusus hak nya dalam mendapatkan keselamatan dan kesehatan kerja.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
Untuk menuju dunia usaha dan dunia kerja yang berbudaya K3 serta terlaksananya implementasi kebijakan K3 di indonesia, maka pemerintah membuat Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Hal ini dilakukan pemerintah untuk menjamin kesehatan dan keselamatan kerja bagi karyawan di tempat kerja dijelaskan dalam pasal 1. “tempat kerja” ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki tempat kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal 2; termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau berhubung dengan tempat kerja tersebut. (pasal 1) Disini diterangkan bahwa tenaga kerja mendapat perlindungan disetiap tempat mereka bekerja tanpa terkecuali seperti disampaikan di pasal 2 ayat 1 bahwa segala tempat yang dimaksud meliputi didarat, diudara, dan dilaut dengan berbagai aktifitas yang berkaitan dengan proses pekerjaan. Ditinjau dari ruang lingkup tempat kerja maka Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 ini telah menjamin keselamatan kerja semua tenaga kerja diberbagai bidang pekerjaan dengan berbagai macam tempat kerja, dengan kata lain ruang lingkup yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1970 ini sudah sangat tepat mengingat di Indonesia memiliki beragam lapangan kerja di darat, dilaut, maupun diudara. Dengan ini seharusnya perusahaan dalam membuat kebijakan dan peraturan harus memenuhi ruang lingkup yang dijelaskan di Undang-undang No. 1 Tahun 1970 ini dengan segala bidang pekerjaan para pekerjanya.
Selain dalam ruang lingkup, di dalam syarat-syarat keselamatan kerja yang diatur di Undang-undang no. 1 Tahun 1970 juga sudah sangat baik, seperti syarat-syarat untuk memenuhi pencegahan terhadap kecelakaan, langkah-langkah pertolongan pada kecelakaan, alat pelindung diri bagi para pekerja, mengendalikan penyakit akibat kerja baik fisik maupun non fisik, mengendalikan lingkuang kerja agar tetap nyaman dan sehat dalam proses bekerja, mengatur keserasian/ergonomi antara tenaga kerja alat kerja lingkungan serta proses bekerja, pemilihan jenis peralatan yang aman digunakan, pemeliharaan segala jenis bangunan dan peralatan yang ada, pengamanan khusus kepada pekerjaan yang mempunyai resiko tinggi dan lain sebagainya. Suatu perusahaan tentu mempunyai bahaya yang berbeda dengan perusahaan lain tergantung perbedaan bidang pekerjaan yang ditekuni. Oleh karena itu perusahaan perlu mengidentifikasi masalah dan bahaya yang ada pada perusahaan untuk mengetahui masalah dan bahaya apa yang mengancam para pekerja dan perusahaan, dengan mengetahui masalah dan bahaya apa saja yang ada maka akan mudah bagi perusahaan untuk membuat kebijakan dan peraturan-peraturan tentunya harus berlandaskan syarat-syarat dalam pasal 3 Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 Ini, dengan ini maka keselamatan tenaga kerja maupun keselamatan perusahaan akan terjamin.
Selain pembuatan sebuah kebijakan perlu adanya sebuah pengawasan terhadap implementasi kebijakan dilapangan agar tujuan dari kebijakan tersebut dapat tercapai dengan baik dan makna-makna dari kebijakan itu dapat diimplementasikan secara keseluruhan oleh tenaga kerja. Sebuah pengawasan akan memberikan efek positif bagi tenaga kerja untuk selalu mentaati peraturan/kebijakan yang berlaku karena merasa dirinya selalu diawasi. Dari sinilah kebudayaan tertib K3 akan terbentuk dan akhirnya tertanam kesadaran dari seluruh tenaga kerja/warga perusahaan bahwa K3 adalah kebutuhan mereka. Dalam Undang-undang no. 1 tahun 1970 menerangkan bahwa direktur menugaskan ahli keselamatan kerja menjalankan pengawassan langsung terhadap ditaatinya kebijakan K3 perusahaan dan membantu dalam pelaksanaanya. Serta menegaskan bahwa warga perusaan yang tidak menerima keputusan peraturan/kebijakan yang dikeluarkan oleh perusahaan maka dapat mengajukan protes sesuai ketentuan yang berlaku diperusahaan tersebut. Hal ini menjadi penting jika suatu perusahaan tidak mengutamakan keselamatan tenaga kerja dalam pembuatan peraturan dan kebijakan, maka jika warga perusahaan merasa dirinya tidak terlindungi atau hak nya yang berkaitan keselamatan kerja tidak terpenuhi dapat mengajukan protes kepada perusahaan sesuai ketentuan yang berlaku.
Pada Undang-undang No. 1 Tahun 1970 ini juga menjelaskan tentang pembinaan terhadap tenaga kerja baru diantaranya menjelaskan pada tiap pekerja kondisi serta bahaya yang dapat timbul dalam tempat kerja,mengenalkan alat pelindung dan cara penggunaannya,dan sikap kerja yang harus ditaati oleh tenaga kerja. Hal ini menjadi perlu agar tenaga kerja baru mengetahui dan dapat beradaptasi terhadap lingkungan disekitar tempat kerjanya sehingga kecelakaan kerja dari faktor manusia yang disebabkan oleh ketidaktahuan dapat terminimalisir, maka perusahaan wajib memberi pembinaan terhadap tenaga kerja baru.
Tenaga kerja mempunyai hak serta kewajiban dalam sebuah perusahaan dimana hak tersebut diatur dalam pasal 12 Undang-undang No. 1 tahun 1970 seperti memakai alat pelindung diri yang diwajibkan,memenuhi dan mentaati seluruh syarat-syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang diwajibkan, serta menyatakan keberatan kerja pada suatu pekerjaan yang dianggap syarat kesehatan dan keselamatan kerja maupun alat pelindung diri yang ada diragukan. Perusahaan wajib menyediakan alat pelindung diri yang sesuai standar dan ketentuan yang berlaku pada setiap tenaga kerja sesuai bidang kerja masing-masing. Jika suatu perusahaan tidak menyediakan alat pelindung dan terjadi kecelakaan maka perusahaan harus bertanggung jawab penuh dan dapat dituntut sesuai Undang-Undang Pasal 9 No. 1 Tahun1970.
Pengurus diwajibkan menempelkan peraturan-peraturan dan peringatan secara tertulis maupun menggunakan gambar ditempat kerja sesuai keadaan yang ada di tempat kerja. Ini dimaksudkan agar seluruh warga perusahaan dapat dengan mudah melihat/mengetahui kebijakan dan peraturan yang ada di perusahaan tersebut yang berkaitan dengan manual kerja, peringatan bahaya, anjuran penggunaan APD, dan peraturan/kebijakan yang lain.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
            Undang- undang Nomor 3 tahun 1992 tentang jaminan sosial ketenagakerjaan merupakan suatu perlindungan terhadap tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti penghasilan yang hilang atau sebagai pelayanan akibat dari kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Setiap pekerja mempunyai resiko sosiala yang berupa peristiwa yang dapat membuatnya kehilangan pekerjaan dan penghasilan dari pekerjaan tersebut maka dari itu perlu adanya peningkatan perlindunagan tenaga kerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja dengan tujuan untuk memberikan ketenangan bekerja dan menjamin kesejahteraan tenaga kerja berserta keluarganya.
Kecelakaan dan penyakit akibat kerja adalah resiko yang dapat mengancam dan sewaktu waktu dapat terjadi kepada tenaga dalam menjalankan pekerjaanya. Untuk menanggulangi akibat dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja berupa kehilangan sebagian atau keseluruhan waktu dan penghasilan dari pekerjaanya maka perlu adanya jaminan kecelakaan kerja. Ini dimaksudkan untuk meringankan/membantu dampak dari tenaga kerja yang menjadi korban dan kelurganya yang kehilangan pekerjaan atau sebagian waktu bekerja karena kecelakaan kerja, cacat akibat kerja maupun kematian. Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan krja berhak menerima jaminan kecelakaan kerja (Pasal 8 ayat 1). Jaminan kecelakaan kerja tersebut meliputi :
  1. Biaya pengangkutan.
  2. Biaya sementara tidak mampu bekerja.
  3. Biaya rehabilitasi.
  4. Santunan berupa uang yang meliputi :
  5. Santunan sementara tidak mampu bekerja.
  6. Santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya.
  7. Santunan cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental.
  8. Santunan kematian (Pasal 9).
Pengusaha wajib melaporkan kecelakaan kerja yang menimpa tenaga kerja kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja dalam waktu tidak lebih dari 2 (dua) kali 24 jam (Pasal 10, ayat1). Pengusaha wajib melaporkan kepada Kantor Deprtemen Tenaga Kerja dan badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja dalam waktu tidak lebih dari 2 (dua) kali 24 jam setelah tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja oleh dokter yang merawatnya dinyatakan sembuh, cacat atau meninggal dunia (Pasal 10, ayat 2). Pengusaha wajib mengurus hak tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja sampai memperoleh hak-haknya. (Pasal 10, ayat 3). Jika seorang tenaga kerja tertimpa kecelakan kerja yang mengakibatkan dirinya tidak bisa bekerja sebagian atau selamanya dan mengharuskan dirinya dirawat di rumah sakit maka tenaga terebut berhak memperoleh biaya rehabilitasi, santunan sebagai ganti ia tidak dapat bekerja serta perusahaan wajib mengurus hak tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja sampai mendapatkan haknya sehingga keluarga tenaga kerja yang menjadi korban tidak perlu mengurusnya. Undang-undang ini dimaksudkan agar resiko sosial dari tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja yang kehilangan waktu bekerja berserta penghasilannya dapat diatasi meski kerugian lain seperti sakit, ketidakproduktifan dan ketergantungn karena lumpuh tetap menjadi resiko yang memang harus diterima seorang tenaga kerja.
Sakit merupakan salah satu gangguan kesehatan yang memelukan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan. Pemeliharaan kesehatan adalah untuk menanggulangi dan mencegah gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaaan, pengobatan dan perawatan, dimana pemeriksaan, pengobatan dan perawatan membutuhkan biaya yang tidak sedidkit. Selain itu pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktifitas tenaga kerja sehingga diharapkan dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Disamping itu pengusaha mempunyai kewjiban mengadakan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja yang meliputi upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan dan pemulihan yang diharapkan tercapainya derajat kesehatan tenaga kerja yang optimal. Oleh karena beberapa hal diatas jaminan pemeliharan kesehatan yang bersangkutan tidak hanya untuk tenaga kerja namun juga untuk keluarganya. Tenaga kerja, suami atau istri, dan anak berhak memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan. Jaminanpemeliharaan kesehatan meliputi :
  1. Rawat jalan tingkat pertama.
  2. Rawat jalan tingkat lanjut.
  3. Rawat inap.
  4. Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan.
  5. Penunjang diagnostik.
  6. Pelayanan khusus.
  7. Pelayanan gawat darurat. (Pasal 10, ayat 1)
Dalam perkembangannya landasan hukum bagi penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja menjadi lebih kuat lagi dengan masuknya ketentuan mengenai jaminan sosial dalam undang-undang dasar RI, adanya ketentuan mengenai jaminan sosial dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan serta UU No. 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional.
Selain UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja Serta UU No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, masih banyak Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri maupun landasan hukum lain yang mengatur tentang ketenagakerjaan dan Keselamatan kerja di Indonesia. Dilihat dari ketiga contoh perundang-undangan diatas, upaya yang dilakukan pemerintah untuk melindungi tenaga kerja sudah sangat baik serta berpihak dan menjamin terhadap hak-hak tenaga kerja. Namun pada tingkat kebijakan di perusahaan masih banyak hak-hak tenaga kerja yang belum terpenuhi terbukti dengan tingkat kecelakaan kerja yang masih sangat tinggi.
Implementasi Kebijakan K3 Di Perusahaan
Meskipun Kebijakan K3 ditingkat nasional sudah cukup baik dibuktikan dengan adanya UU No. 1 tahun 1970 yang mengatur tentang kesehatan dan keselamatan kerja walaupun UU tersebut sudah harus direvisi karena ada pasal-pasal yang sudah tidak relevan, UU No. 13 Tahun 1969 tentang ketenagakerjaan dan peraturan peraturan lain seperti peraturan pemerintah dan keputusan menteri yang semuanya mengatur tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja dan perlindungan hak-hak ketenagakerjaan, meskipun begitu pada kebijakan beserta implementasi ditingkat perusahaan masih dipertanyakan. Jika kebijakan dan implementasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja ditingkat perusahaan sudah baik seharusnya angka kecelakaan kerja kecil namun pada kenyataanya angka kecelakaan kerja di Indonesia masih sangat tinggi, ini menunjukkan bahwa kebijakan dan implementasi Kecelakaan dan Keselamatan Kerja di Indonesia masih belum maksimal.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mencatat, secara nasional BPJS Ketenagakerjaan telah menangani 105.383 kasus kecelakaan kerja hingga tahun 2014 lalu. Dari jumlah itu, tercatat kasus cacat fungsi berjumlah 3.618 kasus, cacat sebagian berjumlah 2.616 kasus, cacat total berjumlah 43 kasus, dan meninggal dunia sebanyak 2.375 kasus. Adapun hingga Maret 2015, BPJS Ketenagakerjaan telah menangani sebanyak 38 kasus JKK-RTW (Return To Work). Salah satu penyebab kejadian ini adalah pelaksanaan dan pengawasan K3 yang belum maksimal, sekaligus perilaku masyarakat industri pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, belum optimal. (BPJS Ketenagakerjaan)
Jika menurut BPJS ketenagakerjaan bahwa pelaksanaan dan pengawasan serta kesadaran masyarakat industri yang menjadi masalah terbesar maka sama halnya dengan pendapat para ahli bahwa, faktor penyebab kecelakaan kerja kerja dibagi menjadi 2 hal yaitu :
  1. Tindakan perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe human act atau human eror)
  2. Keadaan lingkungan yang tidak aman. (suma’mur, 1981 : 9)
Keadaan lingkungan yang tidak aman salah satunya juga disebabkan oleh perbuatan manusia yang tidak memperdulikan keadaan disekitnya bekerja.
Dapat disimpulkan bahwa penyebab kecelakaan di Indonesia adalah pada manusianya sendiri yang bekerja tidak memenuhi dan cenderung bertindak mengabaikan keselamatan kerja walaupun resiko yang ditimbulkan akan berdampak bagi dirinya sendiri, selain itu seharusnya perusahaan harus lebih memeperketat pengawasan sehingga kecelakaan kerja dapat dikendalikan, serta peran pemerintah dalam pengawasan terhadap perusahaan yang memiliki angka kecelakaan tinggi juga masih kurang sehingga perusahaan tidak merasa diawasi dan berakibat perusahaan cenderung acuh terhadap pengawasan kepada tenaga kerjanya dan tidak menganalisis dan menindaklanjuti terhadap setiap kecelakaan kerja yang terjadi. Jika hal ini terus berlangsung tak heran jika kecelakaan kerja dari tahun ke tahun tidak akan berkurang justru dapat bertambah, maka untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan memperketat pengawasan dari dinsosnakertrans kepada perusahaan, dari perusahaan ke bagian yang bertanggung jawab, dan bermuara kepada pengawasan dari supervisor ke setiap tenaga kerja dan tempat kerja yang menjadi tanggung jawabnya.
Jakarta,KSPI – Pasca insiden kecelakaan kerja di PT Mandom Indonesia yang menimbulkan puluhan korban,KSPI meminta pemerintah memperketat pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di setiap perusahaan. Jika perusahaan lalai dan pengawasan tidak jalan bukan mustahil kejadian serupa akan berulang.
Presiden KSPI, Said Iqbal, bukan saja meminta pemerintah mengusut tuntas kejadian di pabrik PT Mandom Indonesia di kawasan industri MM2100 Cikarang Bekasi, tetapi juga memperlihatkan lemahnya pengawasan atas K3. Kalau aspek pengawasan jalan, plus perusahaan menjalankan mekanisme K3 dengan benar, peristiwa nahas yang menewaskan banyak pekerja itu, kata Iqbal, tak terjadi.
“Pemerintah lalai melakukan pengawasan K3 di perusahaan. Kami mendesak pemerintah dan pengusaha untuk menjamin K3 para pekerja,” kata Iqbal dalam jumpa pers yang diselenggarakan KSPI di Jakarta, Kamis (30/7).
Iqbal mencatat kecelakaan kerja yang menewaskan buruh masih beberapa kali terjadi. Ironisnya, Pemerintah tidak pernah mengambil langkah tegas terhadap perusahaan yang lalai menjaga keselamatan pekerjanya.
Selain itu, Iqbal meminta hasil investigasi pemerintah dan kepolisian dibuka kepada publik. Hasil investigasi dan pengawasan itu penting bagi buruh yang menjadi korban untuk melakukan upaya hukum. Sebab, kecelakaan kerja karena kesengajaan sehingga menewaskan orang lain dapat dijatuhi pidana. Menurut dia, kalau hasil investigasi forensik menyimpulkan ada kesengajaan atau kelalaian, direksi perusahaan bisa dituntut.
Iqbal juga mendesak pemerintah untuk merevisi UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Sebab, regulasi itu tidak sesuai lagi dengan perkembangan K3 saat ini. Bahkan sanksi yang diberikan kepada pihak yang melanggar aturan K3 sangat minim sehingga tidak menimbulkan efek jera. Misalnya, perusahaan yang melanggar aturan K3 hanya dijatuhi sanksi berupa denda Rp100 ribu. (Pasal 15 ayat 1)
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, mengatakan pihaknya mengusut kecelakaan kerja yang terjadi di Mandom Indonesia. Ia mengimbau agar semua pihak menjadikan kecelakaan itu sebagai pelajaran untuk mengutamakan K3 di lingkungan kerja.
“Dalam kasus ini Kemenaker bertindak sebagai pengawas dan sekaligus penyidik dalam kecelakaan kerja ini. Kasus ini terus ditindaklanjuti sampai ke tahap penyelidikan. Nanti pengawas-pengawas Ketenagakerjaan berkoordinasi lebih lanjut dengan pihak kepolisian,” kata Hanif usai mengunjungi korban kecelakaan kerja di Mandom yang dirawat di RSCM, Jakarta, Jumat (24/7).
Hanif menegaskan, seluruh perusahaan di Indonesia wajib menerapkan K3. Sebab, itu menyangkut keselamatan banyak orang yang berada di lingkungan kerja. “Pelanggaran terhadap K3 adalah pidana,“ tegasnya. (m.hukumonline.com)
Kasus diatas merupakan salah satu contoh lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan K3 baik ditingkat perusahaan maupun ditingkat pemerintah, lemahnya pengawasan ini menjadi salah satu faktor terbesar kecelakaan kerja selain faktor manusia, dengan tanpa pengawasan maka perusahaan hanya mementingkan pencapaian produksi dan target laba perusahaan saja tanpa mementingkan aspek keselamatan kerja tenaga kerjanya. Disini terlihat pemerintah masih kurang tegas dalam membela hak-hak tenaga kerja walaupun jika dilihat dari undang undang yang dibuat pemerintah sudah sangat jelas sekali bahwa pemerintah membela hak-hak tenag kerja, namun pada implementassinya peran pemerintah belum sebaik undang undang yang telah dibuat.
Sampai saat ini tenaga kerja selalu menjadi korban dari lemahnya pengawasan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja, selain dari aspek pengawasan sanksi yang dijatuhkan kepada perusahaan yang melanggar undang undang keselamatan kerja belum memberikan efek jera. jika dilihat sanksi yang terdapat pada UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah). (Pasal 15 Ayat 1). Denda atau kurunagan maksimal Rp. 100.000,- atau 3 bulan merupakan sanksi yang sangat tidak relevan lagi karena dampak yang disebabkan oleh pelanggaran K3 yang dilakukan perusahaan sangat besar bahkan sampai kepada kematian. Oleh karena itu pemerintah seharusnya segera merevisi undang undang ini dengan memberikan sanksi yang lebih memberikan efek jera sehingga perusahaan menjadi lebih serius dalam menanggapi kesehatan dan keselamatan kerja bagi tenaga kerja, selain itu pemerintah harus meningkatkan dalam pengawasan kesehatan dan keselamatan kerja karena tanpa implementasi yang bagus akan menjadi percuma walaupun UU No. 13 tahun 1970 telah direvisi.
Hambatan pengawasan dan Implementasi K3
Dinas Sosial Tenaga kerja dan Transmigrasi (Dinsosnaskertrans) sebagai pengawas perusahaan dalam mengimplementasikan kebijakan K3 seharusnya dapat secara optimal mengawasi perusahaan untuk memastikan perusahaan sudah mengupayakan dan memaksimalkan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja pagi tenaga kerjanya, namun pada kenyataanya dinsosnaskertrans di seluruh kota di indonesia belum secara optimal melakukan pengawasan tersebut karena terdapat berbagai kendala yang dihadapi. Kendala tersebut andara lain :
  1. Jumlah pengawas tak sebanding dengan perusahaan dan objek yang diamati.
Pengawas ketenagakerjaan dinsosnakertrans kota jogja suharyana mengatakan ada sejumlah hambatan yang ditemui lembaganya seperti jumlah pengawas ketenagakerjaan tak sebanding dengan perusahaan dan objek yang harus di amati seperti sarana dan alat yang digunakan dalam pekerjaan dapat dipastikan dalam keadaan aman. (harianjogja.com)

  1. Keterbatasan anggaran.
“Sejauh ini anggaran baru memenuhi kebutuhan penyuluhan kepada 30 perusahaan dalam setahun. Selain itu, peserta yang datang saat penyuluhan, tidak banyak yang kemudian menerangkan kembali yang didapat dari penyuluhan kepada rekan kerja” tutur suharyana, sabtu (8/11.2014) (harianjogja.com)

Karena tidak sebandingnya lapangan kerja dengan tenaga kerja di seluruh indonesia mengakibatkan banyak tenaga kerja yang bersedia bekerja disuatu perusahaan meskipun kesehatan dan keselamatan kerjanya tidak diperhatikan oleh perusahaan. “Dari pada menganggur, lebih baik bekerja padahal K3 belum terpenuhi, ini kan namanya keterpaksaan” tutur suharyana (harian jogja.com)
  1. Program yang dilaksanakan lebih banyak mencakup program kuratif dibandingkan program preventif dan promotif sehingga tampak sebagai pengeluaran saja. (Qomariatus Sholihah & Wahyudi Kuncoro, 2011: 73)
Selain hambatan yang dialami dinas ketenagakerjaan mengenai pengawasan K3 dilingkup nasional terdapat pula hambatan yang dialami perusahaan dalam memberikan pelayanan sekaligus mengawasi Keselamatan dan Kesehatan kerja, hambatan ini menyebabkan perusahaan tidak optimal dalam memeberikan pelayanan dan pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Keterbatasan itu antara lain :
  1. Terbatasnya modal perusahaan
Modal menjadi salah satu penyebab terbatasnya pelayanan dan pengawasan yang diberikan perusahaan karena biaya yang dibutuhkan dalam pelayanan dan pengawasan K3 tidaklah sedikit, mulai dari pengadaan APD berserta perawatannya, memelihara peralatan kerja, pengadaan peralatan kerja yang sesuai standart, pengadaan layanan kesehatan dan pengadaaan-pengadaan berserta pengawasan lainnya. Sehingga untuk mencapai pelayanan dan pengawasan yang optimal memang tidaklah mudah dan membutuhkan biaya besar. APD yang baik harus memenuhi syarat :
  1. Enak (Nyaman) dipakai.
  2. Tidak mengganggu pelaksanaan pekerjaan
  3. Memberikan perlindungan efektif terhadap macam bahaya yang dihadapi. (Suma’mur, 2014: 462)
  1. Perencanaan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang tidak terkoordinasi
Koordinasi antar bagian dalam perusahaan juga menjadi salah satu penyebab terbatasnya pelayanan dan pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Sebagai contoh jika saat bagian peralatan melakukan monitoring terhadap perlatan produksi dan menemukan sebuah kerusakan yang berpotensi bahaya maka bagian perlatan tidak bisa langsung menangani kerusakan tersebut karena bagian produksi tidak ingin proses produksi berhenti seketika dan mengakibatkan tidak tercapainya target yang diinginkan oleh bagian produksi. Maka perbaikan baru bisa dilakukan pada saat istirahat. Jika sampai terjadi kecelakaan maka bagian produksi dinilai kurang dalam melakukan pengawasan terhadap alat-alat produksi, maka perlu adanya koordinasi yang baik anatar bagian semata-mata untuk mementingkan dan mengutamakan kesehatan dan keselamatan kerja seluruh warga perusahaan dengan mengesampingkan target yang ingin dicapai.

  1. Kesadaran tenaga kerja yang kurang terhadap K3.
Pada saat tenaga kerja bekerja pada pekerjaan khusus, tenaga kerja sering melupakan Alat Pelindung Diri khusus yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan tersebut dengan berbagai alasan yang bertolak belakang dengan kesadaran K3 seperti hanya pekerjaan hanya sebentar dan jauh jika harus mengambil. Seperti halnya menggerinda yang memerlukan kaca mata khusus menggerinda, sarung tangan dan masker, karena seorang tenaga kerja yang biasanya tidak melakukan pekerjaan menggerinda maka tenaga kerja tersebut tidak menggunakan kacamata khusus menggerinda sehingga dia menggerinda tanpa menggunakan kacamata dan terjadi kecelakan kerja. Kejadian yang sangat singkat ini seringkali menjadi kesulitan perusahaan dalam melakukan pengawasan K3.
Akibat implementasi dan pengawasan yang buruk
            Implementasi dan pengawasan yang buruk mempunyai dapak yang sangat luas, dampak ini selain merugikan tenaga kerja juga merugikan perusahaan tersebut. Dampak dilingkup nasional meliputi :
  1. Meningkatnya angka kecelakan kerja di Indonesia.
  2. Kerugian karena tenaga kerja yang tertimpa kecelakan kerja mati atau cacat permanen sehingga menjadi warga negara tidak produktif.
Selain dampak ditingkat nasional, terdapat juga dampak yang diakibatkan oleh buruknya implementasi dan pengawasan ditingkat perusahaan dan tenaga kerja itu sendiri. Dampak ini meliputi :
  1. Kematian tenaga kerja sehingga keluarga kehilangan tulang punggung bagi kelanjutan hidup keluarganya.
  2. Kehilangan jam kerja berserta hilangnya pendapatan. Kecelakaan kerja yang bersifat ringan tentu tenaga kerja tersebut dapat kerja kembali namun akan kehilangan jam kerja dan penghasilan selama dia dalam masa penyembuhan.
  3. Cacat total dan tidak produktif. Kecelakan berat tentu akan mengakibatkan tenaga kerja kehilangan kesempatan untuk bekerja dan menjadikan dirinya tidak produktif.
  4. Penyakit akibat kerja. Penyakit akibat kerja membuat tenaga kerja tidak bisa bekerja dan mengharuskan perawatan yang berkelanjutan maka akan berdampak kepada ekonomi keluarga.
  5. Orang yang sakit tentu tidak akan hidup nyaman dan tentram karena menahan rasa sakitnya setiap hari.
  6. Kerugian bagi perusahaan dalam jam kerja. Tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja akan mengakibatkan kehilangan jam kerja bagi perusahaan karena tenaga kerja tersebut tidak bisa bekerja dengan waktu tertentu.
  7. Kerugian dalam bentuk rusaknya peralatan kerja.
  8. Kerugian dalam bentuk tergangunya sistem produksi yang berjalan sehingga mengakibtkan target perusahaan tidak tercapai.
  9. Kerugian perusahaan jika harus mengeluarkan biaya perawatan dan biaya lain yang dimaksudkan untuk mempertanggungjawabkan kecelakaan kerja yang terjadi.
Faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja di Perusahaan
            Penyebab kecelakaan kerja di berbagai bidang perusahaan sangat beragam, namun secara umum faktor penyebab kecelakaan kerja disebabkan oleh
  1. Manusia
Manusia yang dimaksud adalah semua orang yang ikut berperan atau bekerja pada suatu area kerja. Ruang lingkup manusia disini adalah manajer sebagai pembuat kebijakan, engginer sebagai perencana alat dan ruangan, pelaksana maupun supervisor yang bertanggung jawab terhadap para pelaksana. Dalam kenyataannya manusia banyak yang menjadi penyebab utama kecelakaan dan bahkan menjadi korban dari kcelakaan yang mereka buat sendiri yang tak jarang sampai mengakibatkan kematian. Hal ini disebabkan oleh faktor internal perseorangan yang bersangkutan, antara lain :

  1. Kurangnya kemampuan
  • Secara fisik : Tinggi, berat, jangkauan, kekuatan, pengelihatan, pendengaran, pernafasan dan lain sebagainya, maka dari itu perusahaan wajib mengadakan tes kesehatan pada penerimaan tenaga kerja untuk mengetahui kondisi fisik calon karyawan.
  • Secara mental : Bakat dan kecerdasan, daya ingat, ketangkasan, permasalahan yang sedang dialami dan lain sebagainya.
  1. Kurangnya pengetahuan : kurang memahami pekerjaan, kondisi area kerja dan resiko yang ada di tempat kerja. Pengalaman sangat berpengaruh pada kecelakaan kerja sehingga pelatihan tenaga kerja baru sangat berguna bagi pengantisipaian kecelakaan kerja.
  2. Kurang keterampilan : skill bekerja, bekerja tidak sesuai prosedur yang benar, tidak sesuai dengan bakat.
  3. Stress
  • Secara fisik : beban tugas yang berat, kurang istirahat, temperatur yang ekstrim, kelembaban, oksigen di tempat kerja dll. Stress yang dialami oleh para karyawan menurut Sukmawati dapat disebabkan antara lain karena :
    • Frustasi, yaitu apabila ada halangan yang menghambat maksud dan tujuan yang diinginkan,
    • Konflik, yaitu terjadi jika tidak dapat memilih antara dua atau lebih kebutuhan / tujuan yang diinginkan,
    • Tekanan/ krisis, yaitu beban kerja mental dan fisik sehari-hari meskipun kecil tetapi menumpuk dapat menyebabkan stres yang hebat.
  • Secara mental : emosi, lelah pikiran, penyakit, frustasi.
Kelelahan (kelesuan), adalah perasaan subjektif, akan tetapi berbeda dengan kelemahan dan memiliki sifat bertahap (wowo sunaryo kuswono, 2015: 155)
  1. Kurang motivasi : bekerja tidak sesuai prosedur agar cepat selesai, pengejaran target agar mendapat bonus, hal yang lucu menggunakan APD yang sesuai prosedur dll.
  2. Alat
  • Kondisi peralatan yang sudah tidak layak
  • Penyedian Alat Pelindung Diri
  • Kurangnya perawatan alat
  1. Lingkungan
Faktor lingkungan atau biasa disebut (unsafe condition) yaitu kondisi tidak aman dari mesin, peralatan, lingkungan kerja, proses kerja, sistem kerja, ergonomi, dampak dari proses produksi seperti temperatur ekstrim, bahan kimia, debu, serbuk besi dan lain sebagainya. Ergonomi merupakan studi bersifat multidisiplin ilmu yang berakar mulai dari neurologi, anatomi, fisiologi,kinesiologi dan biomekanika tubuh manusia, psikologi, higiene, antropometri, matematika komputasi, tempat (alam/buatan, rekayasa, pemrograman dan seni yang berorientasi pada proses dan produk secara sinergi dengan alat atau mesin yang dimanfaatkan secara aman, nyaman dan memberikan kepercayaan adanaya keselamatan kerja yang tinggi, melalui medote tertentu. (Wowo Sunaryo Kuswono, 2014: 5)
Dari penyelidikan-penyelidikan, ternyata faktor manusia dalam timbulnya kecelakaan kerja sangat tinggi, selalu ditemui dari hasil-hasil penelitian bahwa 80% sampai 85% kecelakaan kerja disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan manusia (Suma’mur, 1985, 9). Menurut suma’mur faktor penyebab kecelakaan kerja tertinggi adalah faktor manusia dengan berbagagai penyebab seperti kelelahan, beban kerja yang tinggi, kelelaian dan kesalahan prosedur.
KESIMPULAN
            Manajemen K3 yang ada di Indonesia masih lemah, baik dari segi pengawasan oleh pemerintah dan perusahaan, kebijakan yang dikeluarkan perusahaan maupun dari segi implementasinya. Undang undang yang ada di Indonesia sebenarnya sudah baik hanya saja ada beberapa pasal yang sudah tidak relevan dan perlu adanya revisi. Untuk mencapai tujuan K3 yaitu melindungi, menjamin dan meningkatkan keselamatan, kesejahteraan dan produktifitas setiap tenaga kerja di berbagai bidang pekerjaan dapat tercapai maka dapat dilakukan dengan :
  1. Merevisi UU No. 13 Tahun 1970 terkait sanksi bagi perusahaan yang melanggar undang undang kesehatan dan keselamatan kerja. Dengan merevisi UU ini dimaksudkan agar perusahaan lebih serius dalam mengupayakan kesehatan dan keselamatan kerja bagi tenaga kerjanya.

  1. Meningkatkan pengawasan ditingkat nasional. Pada dasarnya undang undang keselamatan dan kesehatan kerja di indonesia sudah bagus meskipun beberapa sudah tidak relevan dan perlu direvisi namun pengawasan ditingkat nasional belum maksimal maka perlu ditingkatkan dalam hal pengawasan.

  1. Menindak tegas perusahaan yang memiliki angka kecelakaan kerja tinggi. Pemerintah dinilai kurang dalam penindakan perusahaan yang memiliki angka kecelkaan tinggi, angka kecelakaan yang tinggi ini menunjukkan bahwa implementasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja diperusahaan tersebut masih lemah. Penindakaan dimaksudkan agar perusahaan memperbaiki standar dan implementasi Kesehatan dan Keselamatan Kerjanya sehingga angka kecelakaan kerja menurun.


  1. Meningkatkan pengawasan ditingkat perusahaan. Dengan pengawasan ditingkat nasional digencarkan dan penindakan terhadap perusahaan yang memiliki angka kecelakaan kerja tinggi ditindak tegas maka pengawasan ditingkat perusahaan oleh manajer atau bagian yang berwenang secara tidak langsung akan meningkat.

  1. Meningkatkan pengawasan ditingkat tenaga kerja secara langsung oleh penaggung jawab bagian atau supervisor. Peningkatan pengawasan dari tingkat nasional sesungguhnya dimaksudkan agar bermuara di pengawasan secara langsung kepada tenaga kerja juga meningkat. Jika tenaga kerja merasa terawasi maka tenaga kerja akan selalu mentaati kebijakan dan peraturan peraturan yang ada di perusahaan tersebut serta akan mengimplementasikannya kedalam pekerjaanya sehari-hari. Dengan ini maka lambat laun tenaga kerja/seluruh warga perusahaan akan terbiasa dan karna terbiasa maka budaya K3 akan terbentuk dan tertanam disetiap warga perusahaan. Budaya perusahaan adalah pola terpada perilaku manusia di dalam organisasi/perusahaan, termasuk pemikiran, tindakan pembicaraan yang dipelajari dan diajarkan kepada genarasi penerusnya (Qomariatus Sholihah & Wahyudi Kuncoro, 2011: 22).

Jadi jika budaya di perusahaan sudah merupakan budaya K3 maka pada generasi penerusnya juga akan berbudaya K3, namun jika seniornya saja tidak berbudaya K3 dalam bekerja maka para generasi penerusnya/juniornya juga tidak berbudaya K3.


  1. Memberikan sosialisasi pentingnya K3 kepada tenag kerja. Memberikan sosialisasi juga hal yang sangat penting agar tenaga kerja dapat mengetahui pentingnya K3 dan mengetahui pencapaian yang perusahan inginkan dilingkup K3.
  2. Perusahaan lebih mementingkan kesehatan dan keselamatan tenaga kerjanya dari pada pencapaian target produksi. Karena perusahaan yang lebih mementingkan target produksi menjadi kurang memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja tenaga kerjanya.

  1. Perusahaan harus mentaati perundang-undangan yang berlaku tentang ketenagakerjaan dan keselamatan kerja, serta dalam membuat kebijakan harus berdasarkan UU serta menjamin keselamatan kerja tenaga kerja.


  1. Kesadaran tenaga kerja untuk berperilaku “safety first” dalam setiap pekerjaanya pada saat diawasi maupun tidak diawasi karena kecelakan kerja dapat menimpa siapapun dan dimanapun.

  1. Tenaga kerja harus sadar bahwa kesehatan dan keselamatan kerja adalah hak mereka sehingga jika kesehatan dan keselamatan mereka tidak terpebuhi mereka harus protes atau meminta perusahaan memenuhi hak mereka. Karena sebesar apapun gaji jika kesehatan dan keselamatan kerja tidak terpenuhi adalah hal yang percuma. Gaji tersebut akan habis mereka gunakan untuk berobat dihari tua.
Selain itu dalam melakukan pengawasan pemerintah juga mengalami kesulitan. Kesulitan kesulitan itu antara lain :
  1. Jumlah pengawas tak sebanding dengan perusahaan dan objek yang diamati.
  2. Keterbatasan anggaran.
  3. Keterbatasan lapangan kerja terhadap tenaga kerja sehingga tenaga kerja kurang merespon jika hak-hak K3 nya tidak terpenuhi.

Seorang pekerja yang berada pada lingkungan yang aman dan memiliki kesehatan yang baik akan cenderung lebih produktif dan memberikan keuntungan jangka panjang bagi perusahaan. Dengan memberikan aspek Kesehatan dan Keselamatan kerja maka perusahaan secara tidak langsung telah mempunyai investasi dalam jangka panjang ( Nurhening Yuniarti, 2014: 255)
Agar kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat diminimalisir perlu kesadaran dan peran aktif dari semua warga perusahaan karena sebaik-baik nya kebijakan yang dibuat tanpa kesadaran dan peran aktif dari semua warga perusahaan tidak akan berjalan dengan baik.












DAFTAR PUSTAKA
Suma’mur (1981). Keselamatan kerja & pencegahan kecelakaan. Jakarta: PT Gunung Agung.
Wowo sunaryo kuswana (2015). Mencegah Kecelakaan Kerja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Wowo sunaryo kuswono (2014). Ergonomi dan K3. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Suma’mur (2014). Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta: CV Sagung seto.
Qomariyah Sholihah & Wahyudi Kuncoro (2011) Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konsep Perkembangan Dan Implementasi Budaya Keselamatan. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC.
Nurhening Yuniarti (2014). Urgensi Pendidikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada Pendidikan Kejuruan. Yogyakarta. STTN Batan.
Benjamin O. Alli (2008). Fundamental principles of occupational health and safety. International Labour Office – Geneva. ILO Cataloguing in Publication Data.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang No. 1 thun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.