-
"Rezeki itu ga kemana. Tapi, dicarinya harus di mana-mana. Sama halnya dengan jodoh." Demikian ucapan seorang sahabat melalui sambungan suara, sepekan setelah Idul Fitri 1435 lalu. Sebuah celetukan yang renyah dan menggugah. Terutama pada kalimat akhir yang sedikit menyentil. Ya, sebagai sahabat sejak 2007 lalu, ucapan itu selalu terdengar dari pemilik nama Muhammad Ichsan. Memang, dalam tujuh tahun terakhir, kami selalu berkomunikasi. Khususnya saat perayaan Idul Fitri, entah itu untuk mengucapkan lebaran atau sekadar bernostalgia. Maklum, antara saya dan Ichsan pernah sama-sama bekerja di pertambangan batu bara di Sumatera Barat. Meski kini profesi yang kami jalani berbeda, saya di dunia tulis-menulis dan Ichsan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hanya, menjadi PNS tidak "seindah" yang dibayangkan orang. Ada suka, tentu ada duka. Begitulah menurut Ichsan saat bercerita di telepon. "Kalo enak sih enak. Udah 'tuwir' nanti dapat pensiun," ujar pria berusia 29 tahun tersebut dengan semringah. "Tapi, kalo ngomongin ga enaknya ya banyak. Contohnya, kamu yang seharian mantengin layar komputer di kantor. Sedangkan saya, dalam 2x12 jam cuma bisa melototin laut lepas ditemani nyamuk-nyamuk nakal. Di sini, binatang berbisa seperti ular dan kalajengking jadi pemandangan sehari-hari." Awalnya sempat bingung mendengar penuturannya yang tak jelas ujung pangkalnya. Namun, tak beberapa lama, Ichsan menjelaskan bahwa pekerjaannya sebagai PNS penjaga mercusuar di salah satu pulau di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Kebetulan, pekan lalu, ayah dari putri jelita bernama Qadriyah Annisa sedang cuti lebaran. Jadi, Ichsan bisa berkumpul selama enam hari bersama keluarganya di kawasan Simpang Aru, Padang, Sumatera Barat. Momen lebaran itulah yang paling ditunggunya setiap tahun. Itu karena sebagai penjaga mercusuar, Ichsan mendapat jatah libur sepekan. Jika ditotal, dalam setahun dia hanya bisa menengok keluarganya dua kali. Padahal, kalau dipikir, jarak dari Kepulauan Mentawai ke kota Padang tidak terlalu jauh. Mungkin, hanya beberapa jam dan kalau di Jawa seperti Jakarta-Cirebon. Namun, akses untuk menyeberangi lautan itu tidak mudah. Sebab, kapal yang mengangkut dirinya atau penjaga mercusuar lainnya tidak rutin. Alias, hanya jalan dalam beberapa waktu tertentu. Entah itu untuk membawa solar sebagai pengisi genset di mercusuar atau kebutuhan pokok seperti makanan dan air bersih. Sementara, untuk jaringan telekomunikasi, jangan harap lancar seperti di perkotaan. Kecuali jika memakai sambungan satelit yang sudah tentu harganya mahal. Yang menjadi masalah, jika pasokan makanan habis sebelum dikirim dari dinas setempat. Ichsan dan ketiga temannya yang menjaga mercusuar bisa berhari-hari "puasa". Atau, jika beruntung, mereka hanya memakan ikan bakar yang ditangkap langsung di laut. Sementara, untuk hewan ternak tidak ada mengingat pulau kecil yang ditempati mereka bertiga merupakan pulau kosong tak berpenghuni. Paling, hanya beberapa kali disinggahi nelayan lokal atau kapal angkutan lainnya. Menariknya, dengan kondisi seperti itu, Ichsan tidak pernah mengeluh. Termasuk mengenai gaji yang tak sepadan dengan perngorbanannya. Itu karena sebagai penjaga mercusuar, tugas mereka memberitahu agar kapal yang lewat tidak karam dan menabrak karang. Sementara, nasib mereka malah sering hampir tenggelam lantaran kurang begitu diperhatikan. "Kalo ngomongin gaji, ya ga ada habisnya. Tapi, ini kan pilihan hidup. Saya senang bisa mengabdi di masyarakat, meski sempat dipandang remeh hanya sebagai penjaga mercusuar. Yang penting, kita sudah melakukannya ketimbang hanya beretorika saja. Senangnya kerja beginian, selain kalo pas libur bisa mengunjungi keluarga, juga ketika kami merasa dihargai," ucap Ichsan. "Waktu itu kami sempat menolong kapal yang nyaris karam karena sedikit lagi mengenai karam. Nah, saat itu, kapten dan para abk sampe menitikkan air mata waktu mengucapkan terima kasih. Sungguh, saya dan teman yang jaga jadi terharu. Ternyata, di era digital ini yang industri kapal banyak ditanamkan GPS canggih, peran penjaga mercusuar masih sangat berarti," mantan operator alat berat sejenis Ekskavator ini menambahkan. Mendapati kenyataan tersebut, membuat saya merasa bersyukur. Sebab, pada Idul Fitri lalu dapat berkumpul bersama dengan keluarga. Sedangkan Ichsan dan mungkin ribuan penjaga mercusuar lainnya di Indonesia, hanya bisa mendengar sayup-sayup gema takbir dari kejauhan...(http://www.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar