Senin, 08 Juni 2015

Santunan untuk Korban Kecelakaan Dirasa Terlalu Kecil

 Sebagai bentuk perlindungan negara terhadap warga negara yang terlibat kecelakaan, maka negara hadir dalam bentuk santunan kepada korban.
Santunan diberikan baik kepada korban luka maupun korban meninggal. Namun demikian, besaran santunan saat dirasa masih terlalu kecil dan tidak mencukupi untuk pembiayaan pengobatan korban di rumah sakit.
Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DIY, Agus Andrianto SE mengatakan, santunan ketika terjadi kecelakaan memang cukup membantu.
Namun demikian, saat ini jumlahnya dirasa kurang mencukupi, terutama ketika harus berurusan dengan biaya pengobatan di rumah sakit.
"Untuk itu, harapan kami, tingkat santunan bisa ditingkatkan lagi. Santunan bisa menjadi pendukung pelayanan kepada para penumpang transportasi umum. Karena itu, kalau santunan yang diberikan mencukupi, kami pun bisa semakin total untuk memberikan pelayanan," jelas Agus dalam acara "Dialog Publik: Sinergi untuk Peningkatan Pelayanan kepada Masyarakat Korban Kecelakaan Lalu Lintas" di University Club UGM, Kamis (4/6/2015).
Dalam acara tersebut, hadir Kepala Cabang PT Jasa Raharja (persero) Cabang DIY, Drs I Ketut Suardika; Wakil Kepala Direktorat Lalu Lintas Polda DIY, AKBP Ihsan Amin; Kabid Angkutan Dishubkominfo DIY, Rudy Soelistyono; pakar transportasi dari PUSTRAL UGM, Liliek Wachid; dan Ketua DPD Organda DIY, Agus Andrianto SE.
Sementara itu, seorang peserta, Heru mengungkapkan, besaran premi untuk korban yang harus dirawat di rumah sakit sangatlah tidak mencukupi.
Antara santunan yang diberikan dengan biaya yang harus ditanggung terdapat kesenjangan yang memberatkan.
"Menurut kami, besaran premi tersebut sudah tidak manusiawi. Untuk itu alangkah baiknya apabila bisa ditinjau kembali," katanya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Cabang PT Jasa Raharja (persero) cabang DIY, Drs I Ketut Suardika mengatakan, melihat nilai santunan, dengan memertimbangkan aspek inflasi dan biaya medis memang tidak mencukupi. Untuk itu pihaknya mengapresiasi masukan yang diperoleh dari forum tersebut.
"Forum semacam ini memang akan menjadi bagian dari laporan kami. Kami bisa melihat bahwa ada kemauan dan niat (masyarakat, red) untuk peningkatan santunan," katanya.
Ketut melanjutkan, sesungguhnya santunan melalui asuransi sosial Jasa Raharja merupakan bentuk perlindungan mendasar untuk setiap warga negara.
Namun untuk mengatasi tingginya biaya perawatan yang mungkin dikeluarkan, sesungguhnya masih banyak bentuk perlindungan negara yang lain misalnya BPJS.
Data Jasa Raharja menunjukkan, berdasarkan Permenkeu RI no 36 dan 37 tertanggal 26 Februari 2008, santunan Jasa Raharja untuk korban meninggal dunia sebesar Rp 25 juta; sementara untuk korban luka maksimal Rp 10 juta dan korban cacat tetap maksimal Rp 25 juta.
Sementara untuk biaya penguburan untuk korban meninggal sebesar Rp 25 juta. Namun jumlah tersebut tidak berlaku untuk korban kecelakaan udara dimana nominalnya lebih besar.
"Hal ini juga untuk menanggapi pertanyaan mengenai dobel klaim Jasa Raharja dengan BPJS. Untuk mendapatkan perlindungan dari Jasa Raharja sekaligus BPJS, tentunya diperlukan prosedur yang benar," paparnya.
AKBP Ihsan Amin mengatakan, untuk pengurusan administrasi di Jasa Raharja tentunya diperlukan Laporan Polisi.
Untuk itu pihaknya telah mempermudah pengurusan ini dengan menempatkan perwakilan di beberapa rumah sakit contohnya RS Sardjito.
"Kami permudah prosesnya karena ada petugas kami di rumah sakit, ada pos pelayanan terpadu di rumah sakit. Hal ini agar mereka yang sudah sakit tidak semakin sakit karena memikirkan biayanya. Namun, repotnya adalah kalau ada orang mengaku terlibat kecelakaan namun tidak jelas kapan dan dimana lokasinya," katanya. (tribunjogja.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar