Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat Anton Wijaya mengingatkan
aparat penegak hukum untuk mewaspadai modus klaim asuransi perusahaan
perkebunan yang dengan sengaja membakar lahannya.
Kondisi tersebut disampaikan Anton terkait kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di sejumlah konsesi perkebunan di Sumatera maupun Kalimantan. "Karena memang dalam perjanjian antara perusahaan dan pihak bank tertentu, salah satu poinnya adalah kebakaran yang terjadi dalam kondisi tertentu misalnya bencana alam (force major). Nah ini lah yang perlu di-'warning' oleh penegak hukum," kata Anton, Minggu (7/9/2015) kemarin.
Sejauh ini, menurut Anton, perusahaan yang terbukti membakar lahan hanya dikenakan pasal tentang pembakaran lahan. Nah, celah untuk mendapatkan klaim asuransi, menjadi sesuatu yang belum diperhatian.
"Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum tidak hanya berdasar pada pasal pembakarnya saja, tapi modus klaim asuransi menjadi warna baru dalam kasus kejahatan lingkungan," ujar Anton.
Anton menambahkan, penegakan hukum juga harus dilakukan kepada stakeholder lain selain private sector yang memiliki mandat dan wewenang melakukan perbaikan tata kelola sumber daya alam, memastikan praktik kebun tanpa membakar, tetapi tidak menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.
Fakta-fakta temuan Walhi di berbagai daerah menunjukkan bahwa akar masalah terbesar kebakaran dan asap di Indonesia sangat nyata dan sebenarnya sangat dipahami oleh Pemerintah.
"Kepolisian harusnya melakukan penegakan hukum seadil-adilnya kepada para penjahat lingkungan yang jelas-jelas adalah korporasi yang melakukan pembakaran dalam proses pembersihan lahan-lahan konsesi mereka," tegas Anton.
Sementara itu, peneliti Center for International Forestry Reseach (Cifor) Herry Purnomo mengatakan, fenomena global El Nino yang terjadi saat ini juga perlu diwaspadai karena bisa saja menjadi celah dan pintu masuk bagi perusahaan nakal untuk berkelit.
Dampak kebakaran terutama di lahan gambut diperkirakan akan berlangsung lebih lama dan emisi yang dihasilkan akan jauh lebih besar karena el-nino. "Iya perusahaan skala sedang dan besar bisa memanfaatkan isu El Nino untuk menutupi praktik pembakaran dan pembakaran ini" kata Herry.
Hasil temuan Cifor, menurut Herry, perusahaan perkebunan sawit banyak yang dengan sengaja membuka lahan dengan cara dibakar. Namun, terkait pemanfaatan isu El Nino, sejauh ini masih berupa dugaan, tapi juga perlu diwaspadai.
"Disengaja sudah pasti dari temuan kami. Sedangkan pemanfaatan isu El Nino sejauh ini masih berupa dugaan," kata Herry.
Di tempat terpisah, Direktur Link-AR Borneo, Agus Sutomo mengkritik tidak adanya upaya serius Pemerintah untuk menegakkan peraturan. Padahal, menurut dia ini merupakan kejahatan korporasi yang mengakibatkan kerugian luar biasa.
"Peraturan jelas menyebutkan sebelum mendapatkan izin, pemilik konsesi harus berkomitmen menyediakan sarana dan prasarana penanggulangan bencana kebakaran hutan dan gambut," ungkap Sutomo.
Sutomo menambahkan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, sudah tegas mengatur.
Seperti yang tertuang dalam Pasal 13, yang menjelaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
Sementara, saat ini perusahaan yang lahannya terbakar tidak melakukan pencegahan tetapi justru melakukan pembakaran. Dalam peraturan itu juga menegaskan, setiap usaha perkebunan wajib menyediakan sarana dan prasarana seperti yang diamatkan dalam peraturan itu, seperti yang tertuang dalam Pasal 14 Ayat 1 dan 2.
“Sampai saat ini perusahaan tersebut tidak pernah melakukan seperti yang diamanatkan sesuai peraturan yang berlaku,” tegas Agus Sutomo.
Kondisi tersebut disampaikan Anton terkait kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di sejumlah konsesi perkebunan di Sumatera maupun Kalimantan. "Karena memang dalam perjanjian antara perusahaan dan pihak bank tertentu, salah satu poinnya adalah kebakaran yang terjadi dalam kondisi tertentu misalnya bencana alam (force major). Nah ini lah yang perlu di-'warning' oleh penegak hukum," kata Anton, Minggu (7/9/2015) kemarin.
Sejauh ini, menurut Anton, perusahaan yang terbukti membakar lahan hanya dikenakan pasal tentang pembakaran lahan. Nah, celah untuk mendapatkan klaim asuransi, menjadi sesuatu yang belum diperhatian.
"Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum tidak hanya berdasar pada pasal pembakarnya saja, tapi modus klaim asuransi menjadi warna baru dalam kasus kejahatan lingkungan," ujar Anton.
Anton menambahkan, penegakan hukum juga harus dilakukan kepada stakeholder lain selain private sector yang memiliki mandat dan wewenang melakukan perbaikan tata kelola sumber daya alam, memastikan praktik kebun tanpa membakar, tetapi tidak menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.
Fakta-fakta temuan Walhi di berbagai daerah menunjukkan bahwa akar masalah terbesar kebakaran dan asap di Indonesia sangat nyata dan sebenarnya sangat dipahami oleh Pemerintah.
"Kepolisian harusnya melakukan penegakan hukum seadil-adilnya kepada para penjahat lingkungan yang jelas-jelas adalah korporasi yang melakukan pembakaran dalam proses pembersihan lahan-lahan konsesi mereka," tegas Anton.
Sementara itu, peneliti Center for International Forestry Reseach (Cifor) Herry Purnomo mengatakan, fenomena global El Nino yang terjadi saat ini juga perlu diwaspadai karena bisa saja menjadi celah dan pintu masuk bagi perusahaan nakal untuk berkelit.
Dampak kebakaran terutama di lahan gambut diperkirakan akan berlangsung lebih lama dan emisi yang dihasilkan akan jauh lebih besar karena el-nino. "Iya perusahaan skala sedang dan besar bisa memanfaatkan isu El Nino untuk menutupi praktik pembakaran dan pembakaran ini" kata Herry.
Hasil temuan Cifor, menurut Herry, perusahaan perkebunan sawit banyak yang dengan sengaja membuka lahan dengan cara dibakar. Namun, terkait pemanfaatan isu El Nino, sejauh ini masih berupa dugaan, tapi juga perlu diwaspadai.
"Disengaja sudah pasti dari temuan kami. Sedangkan pemanfaatan isu El Nino sejauh ini masih berupa dugaan," kata Herry.
Di tempat terpisah, Direktur Link-AR Borneo, Agus Sutomo mengkritik tidak adanya upaya serius Pemerintah untuk menegakkan peraturan. Padahal, menurut dia ini merupakan kejahatan korporasi yang mengakibatkan kerugian luar biasa.
"Peraturan jelas menyebutkan sebelum mendapatkan izin, pemilik konsesi harus berkomitmen menyediakan sarana dan prasarana penanggulangan bencana kebakaran hutan dan gambut," ungkap Sutomo.
Sutomo menambahkan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, sudah tegas mengatur.
Seperti yang tertuang dalam Pasal 13, yang menjelaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
Sementara, saat ini perusahaan yang lahannya terbakar tidak melakukan pencegahan tetapi justru melakukan pembakaran. Dalam peraturan itu juga menegaskan, setiap usaha perkebunan wajib menyediakan sarana dan prasarana seperti yang diamatkan dalam peraturan itu, seperti yang tertuang dalam Pasal 14 Ayat 1 dan 2.
“Sampai saat ini perusahaan tersebut tidak pernah melakukan seperti yang diamanatkan sesuai peraturan yang berlaku,” tegas Agus Sutomo.
sumber: KOMPAS.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar