Konsep dan praktek corporate social responsibility(CSR), jauh
lebih tua dari istilah CSR itu sendiri. Setidaknya, menurut Windsor
(2001), sejak tahun 1920-an, pemimpin bisnis sudah melakukan
praktek-praktek tanggung jawab dan responsif. CSR, yang istilahnya
digunakan pada tahun 1960-an tersebut, bertujuan untuk mendorong
aktifitas perusahaan yang memberikan efek positif pada karyawan,
pemangku kepentingan, nasabah, dan lingkungannya (Rochon, 2011).
Definisi dan model CSR terus berkembangan. Redman (2006) mengenalkan tiga model CSR. Model pertama disebut sebagai traditional conflict model. Model
ini memandang bahwa kepedulian sosial dan lingkungan dengan profit
adalah hal terpisah. Kepedulian dengan dengan profit dianggap berkonflik
yang memiliki kepentingan berbeda.
Model kedua memandangan CSR secara positif yang memberikan nilai tambah perusahaan (added value model). Praktek CSR perusahaan kepada lingkungan akan dapat meningkatkan profit perusahaan. Sedangkan pandangan model ketiga adalah multiple goals model. Dalam model ini, perusahaan memiliki komitmen kepada lingkungan dan sosial, tanpa memandang efek kepada profit perusahaan.
Debat bahwa CSR perlu diatur atau tidak
oleh pemerintah masih terjadi. Bagi yang berpendirian bahwa CSR bermakna
sukarela dan inisiatif perusahaan, maka pengaturan pemerintah itu tidak
perlu. Namun menghadapi perusahaan penganut model pertama Redman, maka
komitmen CSR harus dikukuhkan dalam peraturan yang harus ditaati.
CSR BUMN
Bagi perusahaan berstatus BUMN, CSR
bukan hal baru. Jauh sebelum ketentuan CSR diatur dalam UU No. 40/2007
tentang Perseroan Terbatas, UU No. 19/2003 tentang BUMN telah
menyiratkan kewajiban BUMN untuk melaksanakan konsep CSR. Hal itu dapat
dilihat dari salah satu tujuan dibentuknya BUMN yakni turut aktif
memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan lemah,
koperasi, dan masyarakat.
Aturan lebih lanjut yang menjadi pedoman
perusahaan-perusahaan BUMN adalah Peraturan Menteri BUMN No.
Per-05/MBU/2007 yang mengatur tentang Pogram Kemitraan dan Bina
Lingkungan (PKBL). PKBL BUMN adalah salah satu menifestasi konsep CSR.
Namun PKBL lebih fokus pada community development (Radyati, 2010).
Perusahaan-perusahaan asuransi komersial
(asuransi umum dan asuransi jiwa) berstatus BUMN terdiri PT. Asuransi
Jasa Indonesia, PT. Asuransi Kredit Indonesia, PT. Asuransi Ekspor
Indonesia, PT. Asuransi Jiwasraya, dan juga PT. Reasuransi Internasional
Indonesia. Sebagai BUMN yang ditarget laba, perusahaan-perusahaan ini
juga menyisihkan 2% dari laba untuk aktifitas PKBL.
Di dalam publikasi perusahaan-perusahaan
tersebut berkenaan dengan CSR, jenisnya kegiatannya sesuai dengan
ketentuan didalam peraturan PKBL. Kegiatan-kegiatan tersebut di seputar
program pemberian kredit usaha kecil, bantuan bencana, bantuan
pendidikan, kesehatan, rumah ibadah, dan bantuan filantropis lainnya.
Melihat jenis kegiatan CSR di atas, dapat dipastikan bahwa jenisnya
tidak berbeda dengan model CSR di BUMN lainnya (non asuransi).
CSR Khas Asuransi
Industri asuransi berbeda dengan
industri di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam yang
diwajibkan melakukan program CSR berdasarkan UU No. 40/2007. Industri
asuransi, dalam melaksanakan bisnisnya, sama sekali tidak mengambil
sumber daya alam dan tidak berpotensi merugikan atau merusak lingkungan.
Ditinjau dari sisi etika bisnis, tidak ada kewajiban untuk melakukan
‘balas budi’ terhadap lingkungan.
Jenis kegiatan CSR BUMN asuransi
komersial tersebut di atas harus tetap dipertahankan. Namun bila
modelnya sama dengan BUMN sektor industri lainnya, tentu saja
disayangkan. Perusahaan BUMN asuransi komersial dapat mengaplikasikan
model CSR yang khas asuransi. Model CSR ini tidak dapat dilakukan oleh
BUMN lainnya.
Bertolak dari karakteristik bisnis
asuransi yakni sebagai penanggung risiko. Industri asuransi adalah
industri yang bergerak dibidang menerima risiko dari pihak lain untuk
dijamin (risk transfer) atau dalam bentuk menjamin risiko bersama-sama (risk sharing). Orang
atau institusi yang memiliki dan menghadapi risiko dapat dipindahkan ke
perusahaan asuransi. Praktek seperti ini tentu tidak dijumpai di dalam
sektor bisnis lainnya.
Tambahan Model CSR
Model CSR khas asuransi tersebut
konsepnya masih mengadopsi teori CSR secara umum. Ketiga model
kepedulian tersebut adalah penyadaran tentang risiko, bantuan dalam
pengelolaan/manajemen risiko, dan bantuan sanunan/recovery bila suatu kerugian/kecelakaan terjadi.
Model penyadaran tentang risiko
dilakukan dengan menganggarkan dana PKBL untuk pendidikan, kampanye,
serta riset berkaitan dengan risiko dan dampaknya. Hal ini dilakukan
agar masyarakat mampu mengelola risiko-risiko yang dihadapi dengan baik.
Bantuan pengelolaan/manajemen risiko
dilakukan melalui bantuan tak langsung dalam skema asuransi. Ada skema
asuransi khusus yang diperuntukkan masyarakat berpenghasilan rendah.
Dalam skema asuransi tersebut, masyarakat sebagai tertanggung/peserta
asuransi secara aktif.
Sedangkan bantuan santunan/recovery akan memberikan santunan ke ahli waris atau bantuan pendanaan langsung ke masyarakat yang ditimpa bencana. Bentuknya cash basis, tetapi bernuansa simpati.
Baik secara sendiri-sendiri, maupun
kombinasi, tiga model CSR tersebut dimanifestasikan ke dalam tiga bentuk
CSR. Pertama, menyelenggarakan asuransi mikro (microinsurance). Asuransi
mikro adalah asuransi yang diperuntukkan khusus masyarakat
berpenghasilan rendah. Premi yang dibayarkan kecil. Bagi sebagian
perusahaan asuransi, asuransi mikro dianggap kurang menarik karena
preminya kecil.
Berdasarkan penelitian Allianz, GTZ, dan
UNDP (2006), ada permintaan yang kuat untuk asuransi mikrodi beberapa
wilayah di Indonesia. Jenis yang dibutuhkan adalah asuransi kesehatan
untuk penyakit serius, pendidikan anak, dan gagal panen (Allianz, GTZ,
& UNDP, 2006; Lloyd’s, 2010). Hasil penelitian itu tentu saja cukup
mengagetkan karena ternyata masyarakat kecil juga butuh asuransi.
Selain faktor kesejahteraan dan
kesadaran, masyarakat berpenghasilan rendah tidak terjangkau oleh
asuransi disebabkan tidak ada produk yang didesain khusus untuk mereka.
Asuransi mikro menawarkan pendekatan yang berbeda dengan asuransi
tradisional seperti premi dan cara pembayarannya yang ringan, polis
sederhana, serta prosedur klaim yang mudah dan cepat.
Yang dapat dilakukan BUMN asuransi
adalah menganggarkan dana untuk riset, pendidikan, dan kampanye
pentingnya asuransi. Ini dilakukan agar masyarakat sadar bahwa risiko
harus dikelola dengan baik. Tidak hanya itu, dalam rangka merangsang
masyarakat, perusahaan asuransi dapat memberikan subsidi premi.
Masyarakat tidak harus membayar premi secara penuh.
Kedua, perlindungan asuransi kecelakaan
diri atau kematian untuk para relawan kemanusiaan. Mereka (para
relawan), meninggalkan keluarga dan bersedia menyumbangkan tenaga,
waktu, bahkan jiwanya dalam misi-misi kemanusiaan. Daerah perang/konflik
dan daerah bencana menjadi ladang aksi mereka.
Sebagian dari mereka tanpa jaminan
asuransi. Artinya, bila terjadi hal buruk pada mereka, hanya ucapan bela
sungkawa. Tanpa santunan berarti. Perusahaan asuransipun mungkin ogah menjamin asuransinya karena risikonya sangat tinggi.
Di sinilah kepedulian BUMN asuransi
dibutuhkan. Mereka bisa diberikan perlindungan asuransi saat menjalankan
tugas di daerah rawan. Toh yang diberikan hanya perlindungan
asuransi. Artinya, perusahaan asuransi belum mengeluarkan dana
sepeserpun. Bila mereka selamat, perusahaan asuransi tak harus merogoh
kocek. Perusahaan asuransi baru bayar klaim bila kecelakaan atau
kematian terjadi pada para relawan.
Tentu santunan dari perusahaan asuransi
tak sebanding. Pengorbanan cidera badan atau bahkan kematian para
relawan tak bisa diukur secara finansial. Ikut meringankan sedikit beban
keluarga relawan, itu yang dapat diberikan.
Ketiga, jaminan asuransi bencana untuk
masyarakat kecil. Jaminannya untuk kerusakan harta benda, cidera badan,
atau kematian akibat bencana. Perlindungan diberikan kepada masyarakat
yang kurang mampu di daerah rawan bencana. Masyarakat bisa digratiskan
bayar premi atau ada diskon premi.
Bentuk lainnya adalah polis yang
diberikan tidak memberikan jaminan secara penuh. Sebagian kerugian
ditanggung masyarakat sendiri. Mirip dengan bentuk yang kedua di atas.
Perusahaan asuransi belum mengeluarkan dana. Pemberian santunan baru
diberikan ketika masyarakat terkena bencana.
Ketiga model tersebut akan memberikan
dampak positif terhadap asuransi. Kesadaran berasuransi akan terkerek
naik. Dalam jangka panjang, akan meningkatkan permintaan asuransi, baik
untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Dimuat di majalah BUMN Track, April 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar