Senin, 07 Desember 2015

KETIKA PETAKA TAK TERELAKKAN

Peningkatan jumlah kendaraan cenderung dibarengi peningkatan jumlah kecelakaan. Perlindungan apa yang dimiliki pengguna jalan?

Pertengahan 2011. Malam belum larut ketika sebuah angkot alias angkutan kota yang melaju dari Ragunan, Jakarta Selatan, oleng dan naik ke atas trotoar, lalu menghajar lampu jalan hingga roboh. Astri Apriyani, 25, satu dari dua penumpang angkot, terlempar ke pintu. Pipinya membentur tepi pintu yang tidak memiliki lapisan karet, menorehkan irisan dalam – sekitar 10cm – yang memanjang dari pipi hingga pelipis kiri.
Astri mendapat 33 jahitan di pipi, bedah plastik, dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit selama seminggu. Total biaya pengobatan Rp10 juta – belum termasuk obat-obatan reguler, seperti salep dan biaya kontrol sekali seminggu. Sebagian besar dari biaya itu harus Astri tanggung sendiri. Pasalnya, sopir Angkot hanya sanggup memberi bantuan Rp800 ribu. Sementara, kantor tempat Astri bekerja – yang tidak menjamin pegawainya dengan asuransi – memberi santunan tiga juta rupiah. Ibaratnya, Astri sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Astri hanya satu dari 108.696 orang yang mengalami kecelakaan lalu lintas darat pada 2011, menurut data Kepolisian RI (BPS, 2012). Setelah turun drastis pada periode 2006-2007 (dari 87.020 menjadi 49.553), angka kecelakaan lalu lintas darat meningkat tiap tahun. Lompatan terjadi pada 2011, setelah pada 2010 tercatat hanya 66.488 kecelakaan.
Berbeda dengan jumlah kecelakaan di jalan, jumlah kendaraan bermotor terus meningkat selama 22 tahun terakhir. Pada 1988, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia adalah 7.771.019. Pada periode 2006 ke 2007, jumlah kendaraan bermotor meningkat dari 43.313.052 menjadi 54.802.680 (berbanding terbalik dengan jumlah kecelakaan). Dan, pada 2011, jumlah tersebut membengkak menjadi 85.601.351.
Perbedaan tren di atas memang tidak bisa membuat kita serta-merta menyimpulkan bahwa jumlah kendaraan berbanding lurus dengan jumlah kecelakaan di jalan. Tetapi satu hal bisa disepakati bersama adalah pertumbuhan jumlah kendaraan akan memicu jumlah pergerakan orang dan barang, yang berimplikasi kepada peningkatan faktor risiko kecelakaan di jalan. Lantas, adakah perlindungan bagi para pengguna jalan?
Santunan bagi Pengguna Jalan
Beberapa saat lalu, lewat media teve, kita disuguhi iklan tentang Jaja Miharja dan Jasa Raharja. Walau ringan ditonton dan mengundang senyum lebar, ternyata makna serta tujuan yang terkandung dalam iklan tersebut sangat penting: Perlindungan terhadap pengguna jalan, bila tertimpa musibah kecelakaan di jalan.
“Jasa Raharja adalah amanah dari pemerintah untuk memberikan santunan kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan jalan,” ujar Budi Sulistijo, corporate secretary perusahaan asuransi negara Jasa Raharja. “Dasarnya adalah Undang-Undang No. 33 dan 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Undang Undang No. 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.”
Secara gamblang, Jasa Raharja adalah perusahaan yang berwenang untuk menghimpun dana dari masyarakat – lewat kutipan premi, mengelola, menginvestasikan dan menggunakan sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang, baik berupa asuransi atau santunan.
Cakupan asuransi meliputi kecelakaan di jalan, baik untuk kendaraan pribadi, penumpang angkutan darat, laut dan udara yang menyebabkan cedera pada tubuh, cacat tetap, hingga meninggal dunia. Jadi, tidak berlaku untuk kerusakan properti, seperti mobil penyok, kaca spion pecah dan sebagainya.
Pengutipan premi dilakukan dalam berbagai cara, yang ternyata seringkali tidak disadari oleh pembayar sekali pun. Contohnya saja, bila pembelian tiket pesawat atau kereta api secara jelas menerakan keterangan soal asuransi kecelakaan – di mana premi termasuk dalam harga tiket, ternyata pembelian premi juga terjadi ketika Anda membayar angkutan umum (plat kuning) yang tanpa karcis, ikut serta dalam mobil travel, atau ketika membayar pajak surat tanda nomor kendaraan (STNK).
Besar premi juga bervariasi. Untuk bus kota, misalnya, Jasa Raharja mengutip Rp60. Sementara untuk kapal laut berkisar antara Rp200-Rp2.000. Premi tertinggi dikenakan pada angkutan pesawat, yaitu berkisar Rp5.000. Semakin tinggi harga tiket, semakin besar premi, dan hal itu berujung kepada besar santunan yang diterima saat terjadi kecelakaan.
Menyoal santunan, Jasa Raharja membagi santunan berdasarkan dua hal: jenis santunan dan jenis alat angkutan. Jenis alat angkutan adalah angkutan darat dan laut, serta angkutan udara. Sementara jenis santunan diklasifikasikan menjadi empat, yaitu perawatan, cacat tetap, meninggal dunia dan biaya pemakaman.
Penerima Santunan
Nah, pertanyaan berikut tentu soal siapa yang berhak menerima santunan, dan kecelakaan bagaimana yang berhak diberikan santunan?
Ide dasar dari asuransi kecelakaan Jasa Raharja adalah menerapkan kewajiban asuransi terhadap pihak ketiga, di mana ketika seseorang membayar premi, maka sesungguhnya premi tersebut diberikan kepada korban yang timbul akibat penggunaan kendaraan oleh si pembayar premi, dan bukan untuk dirinya sendiri.
Misalnya, Anda pengendara mobil dan tidak sengaja menyerempet pejalan kaki. Nah, premi yang telah Anda beli ketika membayar pajak STNK itu dipergunakan untuk membayar santunan bagi pejalan kaki tersebut. Tetapi, meskipun pada insiden tersebut Anda juga mengalami cedera badan, Anda tidak berhak mendapat santunan apa pun, karena pada dasarnya pejalan kaki tersebut tidak membayar premi.
Hal tersebut jadi berbeda ketika konteksnya adalah tabrakan antar sesama kendaraan. Karena kedua pemilik kendaraan telah membeli premi, jadi yang sesungguhnya terjadi adalah saling bayar santunan antara kedua pengemudi yang terlibat tabrakan. Mereka berdua pun sama-sama berhak atas santunan.
Jadi secara otomatis, santunan akan diberikan kepada setiap korban kecelakan lalu lintas, mulai dari korban tabrakan antara sesama kendaraan, pejalan kaki yang tertabrak kendaraan bermotor, kereta api, hingga korban tabrak lari.
Bagaimana dengan kecelakaan tunggal, alias kecelakaan yang tidak melibatkan pihak lain, seperti tergelincir karena menghajar lubang di jalan, atau terguling karena menabrak trotoar? Baca keras-keras: Tidak ada santunan. Pasalnya, kecelakaan jenis itu menggugurkan prinsip asuransi terhadap pihak ketiga. Karena, jika Anda berurusan dengan lubang jalan atau trotoar, siapa yang membayar premi untuk Anda?
Hal tersebut berbeda dalam konteks angkutan umum di mana para penumpang membeli premi untuk diri mereka sendiri, dan otomatis mendapat perlindungan selama dalam perjalanan, sejak pemberangkatan hingga tiba di tujuan.
Melakukan Klaim
Setelah paham soal perlindungan kepada pengguna jalan, tentu Anda bisa berkata bahwa Astri seharusnya menerima santunan atas musibah yang ia alami. Tetapi pada kenyataannya, sekalipun Astri tahu dirinya bisa minta ganti rugi ke Jasa Raharja, namun ia buta soal cara dan prosedur untuk mendapatkan ganti rugi, bahkan terlanjur skeptis atas birokrasi yang berbelit.
Namun menurut Budi, rata-rata pembayaran klaim memakan waktu tujuh hari. Itupun biasanya karena masalah kelengkapan dokumen. “Tetapi jika pengajuan dilakukan dengan berkas-berkas yang lengkap, dalam empat jam sudah bisa kita bayarkan,” tegas Budi. Tentu saja, kemudahan prosedur tidak selalu sejalan dengan kondisi di lapangan.
Walau demikian. Budi menjelaskan, ada beberapa kondisi yang menggugurkan klaim santunan pengguna jalan. “Misalnya, klaim tersebut dilakukan setelah melewati batas tenggat klaim, yaitu enam bulan sejak kecelakaan,” jelas Budi. “Atau, korban tidak mengambil santunan dalam waktu tiga bulan setelah klaim disetujui.”
Selain itu, klaim santunan bisa juga tidak berlaku, jika kendaraan digunakan untuk kegiatan yang melanggar hukum, seperti melakukan tindak kejahatan atau balap liar.
Prosedur Klaim Asuransi Jasa Raharja
  • Menghubungi kantor Jasa Raharja untuk memperoleh informasi awal.
  • Meminta surat keterangan kecelakaan dari instansi berwenang, seperti kepolisian, PT KAI – sebagai penyelenggara perjalanan kereta api, syahbandar laut, atau penguasa pelabuhan udara. 
  • Melengkapi surat keterangan kesehatan korban akibat kecelakaan, rincian biaya perawatan, fotokopi resep dari rumah sakit/puskesmas/dokter yang merawat. 
  • Menyiapkan KTP asli korban atau ahli waris, surat nikah dan keterangan ahli waris dari kelurahan atau kepala desa. 
  • Menyerahkan berkas-berkas tersebut kepada Jasa Raharja untuk segera diproses. 
Jumlah Santunan
Jika saja Astri mengklaim kecelakaan yang terjadi kepada Jasa Raharja, berapa yang akan ia terima? Sesuai ketentuan, maka Astri akan mendapat santunan sebesar Rp10 juta. Tetapi pertanyaan yang muncul kemudian, apakah nilai tersebut relevan untuk saat ini?
Terus terang pertanyaan itu menjadi sangat penting ketika ditempatkan dalam konteks korban kecelakaan meninggal dunia, dan lebih jauh, korban merupakan pencari nafkah satu-satunya dalam keluarga. Faktanya, berdasarkan Survei Bank Dunia, ditemukan bahwa keluarga dari korban kecelakaan yang meninggal hampir selalu jatuh miskin.
Tulus Abadi, anggota pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), berpendapat bahwa angka santunan kecelakaan lalu lintas di Indonesia sangat kecil. “Harga nyawa manusia di Indonesia itu setara atau lebih rendah daripada harga sapi. Pasalnya, harga sapi setara dengan Rp10 juta,” seloroh Tulus. Kekhawatiran Tulus itu senada dengan yang diungkapkan Sulistiowati, S.H., M.Hum., dosen Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, lewat makalahnya yang berjudul Pengaturan Asuransi Kecelakaan Jalan Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
Dalam makalahnya, Sulistiowati memberi pertanyaan retorika tentang siapa pihak yang sebenarnya menanggung kerugian ekonomi dari kecelakaan lalu lintas jalan? Jawabannya: ‘Sebagian besar beban perawatan jangka panjang pasti jatuh kepada keluarga dari korban kecelakaan, dan korban juga dapat kehilangan pekerjaannya. Bahkan, keluarga korban kecelakaan akan kehilangan sumber pendapatan ketika sumber pencaharian utama meninggal dunia.’
Walau Budi sendiri mengakui jumlah tersebut termasuk kecil, tetapi menurutnya, peruntukkan santunan tersebut memang hanya untuk perlindungan dasar, alias untuk mengganti kerugian dasar saja.
Jasa Raharja bukannya tutup mata soal itu, karena pada kenyataannya, nilai santunan terus naik secara berkala. Misalnya, besar santunan korban meninggal akibat kecelakaan di jalan pada 1997 adalah lima juta rupiah. Lalu, pada 2001 naik menjadi Rp10 juta, dan sejak 2008 mencapai Rp25 juta. Yang menarik dicermati adalah besar premi tetap bertahan pada angka Rp60 sejak 1997.
Membandingkan santunan kecelakaan di negara lain tentu bagaikan membandingkan gajah dan semut – dari sisi ukuran. Itu karena di negara, seperti AS, besar santunan korban kecelakaan meninggal mencapai tiga miliar rupiah. Sementara di negara serumpun Malaysia, santunan mencapai Rp1,3 miliar, lebih tinggi daripada Korea yang ‘hanya’ Rp600 juta.
Menanggapi hal tersebut, Budi menjelaskan hal ini karena mekanisme yang dipakai di masing-masing negara berbeda. Di Korea, misalnya, format yang dipakai adalah dengan pool perusahaan asuransi, di mana besar premi bisa mencapai Rp1-2 juta, tergantung profil si wajib pajak. Ditambah pula dengan pendapatan per kapita mereka yang tinggi, dan risiko kecelakaan di jalan yang kecil.
Sementara di Indonesia, basisnya adalah asuransi sosial. “Kami beroperasi di seluruh Indonesia, dan tentu saja tidak seluruh daerah untung,” tutur Budi. “Sementara penerimaan kami yang utama berasal dari populasi kendaraan bermotor. Sehingga, kalau populasi kendaraan bermotor di suatu daerah kecil, premi yang kami dapatkan juga kecil. Budi menegaskan bahwa pihak Jasa Raharja tetap akan berusaha meningkatkan jumlah santunan pada satu sisi, tetapi tetap menekan besaran premi pada sisi lain.
Santunan Vs. Alat Angkutan 
Jenis santunanJenis alat angkutan
 Darat dan Laut (Rp)Udara (Rp)
Meninggal25.000.00050.000.000
Cacat tetap (maks.) 25.000.00050.000.000
Perawatan (maks.)10.000.00025.000.000
Biaya pemakaman2.000.0002.000.000 
Astri mungkin bisa merelakan uangnya melayang. Tetapi, tidak setiap orang bisa berlaku sama – atau memiliki uang sebanyak itu yang dapat digunakan untuk proses kesembuhan. Jadi, jangan pernah ragu mengklaim hak Anda ketika terjadi kecelakaan.
Dan, selagi menunggu perbaikan demi perbaikan, ada baiknya Anda mempertimbangkan membeli asuransi tambahan yang bersifat komersial, untuk mengalihkan risiko kecelakaan. Hati-hati di jalan.
Ragam Kasus Lain dan Penanganannya
Pohon tumbang. Kejadian pohon tumbang merupakan hal yang musti diwaspadai. Pasalnya banyak pohon di kota besar sepeerti Jakarta yang sudah berumur dan rentan tumbang. Jika kecelakaan terjadi, hubungi bagian Dinas Pertamanan di wilayah tempat Anda tinggal. Untuk provinsi DKI Jakarta, pemerintah daerah menyediakan santunan kepada korban pohon tumbang – baik fisik maupun properti. Besar santunan maksimal Rp10 juta/korban.
Papan reklame jatuh/roboh. Tidak ada santunan dari pemerintah daerah karena kebanyakan papan reklame adalah milik pihak swasta. Akan tetapi, untuk wilayah DKI Jakarta, sesuai dengan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame, pasal 17 butir e menyebutkan bahwa “Penyelenggara reklame berkewajiban menanggung segala akibat yang disebabkan penyelenggaraan reklame yang menimbulkan kerugian pada pihak lain.” Untuk mendapatkan ganti rugi Anda harus menempuh jalur hukum.
Kecelakaan karena jalan berlubang. Kecalakan jenis ini banyak menimpa kendaraan seperti sepeda motor, utamanya bila hujan turun. Asuransi Jasa Raharja memang tidak mencakup hal ini, namun Undang-Undang No. 22 tahun 2009 menuntut pihak pengelola jalan untuk memberikan ganti rugi. Jalur hukum adalah cara untuk mendapatkan ganti rugi atas kasus ini. 
Kecelakaan akibat kabel listrik PLN putus. Asuransi Jasa Raharja tidak mencakup hal ini, demikian pula undang-undang tidak ada yang menjamin memberikan penggantian rugi. Namun demikian Anda tetap bisa melakukan penuntutan lewat jalur hukum. 
Terbit di Reader’s Digest Indonesia edisi April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar