Kerentanan komunitas terjadi karena adanya kondisi lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan ekonomi yang tidak aman (unsave conditions) yang melekat padanya. Kondisi tidak aman tersebut terjadi oleh dorongan oleh dinamika internal maupun eksternal (dinamics presures), misalnya di komunitas institusi lokal tidak berkembang dan ketrampilan tepat guna tidak dimiliki. Dinamika internal itu tersebut tentu bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi karena terdapat akar permasalahan (root causes) yang menyertainya. Akar permasalahan internal umumnya karena komunitas mempunyai akses sumberdaya, struktur dan kekuasaan yang terbatas; sedang secara eksternal karena sistem politik dan ekonomi yang tidak tepat (Blaikie et al, 1994).
Dilihat dari waktu terjadinya, ancaman dapat muncul secara tiba-tiba dan tidak terduga (shocks); ancaman berangsur, terduga dan dapat dicermati (trends); dan ancaman musiman yang datang setiap perioda waktu tertentu (seasonality). Ancaman yang muncul secara tiba-tiba cenderung akan menimbulkan bencana tiba-tiba (gempabumi, banjir bandang, gunung meletus, tsunami, konflik). Demikian pula ancaman yang berangsur dan musiman, cenderung menyebabkan bencana yang berangsur (banjir kiriman, kekeringan, degradasi lingkungan akibat polusi, pestisida dan pupuk kimia) dan musiman (kekeringan, banjir pasang surut, banjir hujan). Status ancaman ini sangat tergantung dari kapasitas individu maupun komunitas dalam sistem peringatan dini (early warning sistem). Artinya, ancaman yang dimaknai shocks oleh satu individu atau komunitas, merupakan trends untuk individu atau komunitas lain yang mempunyai sistem peringatan dini yang lebih baik.
Selanjutnya, setiap individu, komunitas maupun unit sosial yang lebih besar mengembangkan kapasitas sistem penyesuaian dalam merespon ancaman. Renspons itu bersifat jangka pendek yang disebut mekanisme penyesuaian (coping mechanism) atau yang lebih jangka panjang yang dikenal sebagai mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism). Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses kebutuhan hidup dasar : keamanam, sandang, pangan, sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber kehidupannya.
Bencana akan menimbulkan dampak langsung (primer) maupun tidak langsung (sekunder), yang akan mengakibatkan perubahan kehidupan dari pola-pola normal, merugikan manusia, merusak struktur sosial, serta munculnya lonjakan kebutuhan. Bencana akan mereduksi kapasitas komunitas dalam menguasai maupun mengakses aset penghidupan (livelihood assets). Di beberapa peristiwa bencana seluruh kapasitas dan aset tersebut hilang sama sekali. Reduksi kapasitas itu pula yang memungkinkan bencana cenderung akan hadir berulang di suatu kawasan dan komunitas. Menurut konsep sustainable livelihood ada lima aset penghidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi di dalam upayanya mengembangkan kehidupannya yaitu:
Bencana akan menimbulkan dampak langsung (primer) maupun tidak langsung (sekunder), yang akan mengakibatkan perubahan kehidupan dari pola-pola normal, merugikan manusia, merusak struktur sosial, serta munculnya lonjakan kebutuhan. Bencana akan mereduksi kapasitas komunitas dalam menguasai maupun mengakses aset penghidupan (livelihood assets). Di beberapa peristiwa bencana seluruh kapasitas dan aset tersebut hilang sama sekali. Reduksi kapasitas itu pula yang memungkinkan bencana cenderung akan hadir berulang di suatu kawasan dan komunitas. Menurut konsep sustainable livelihood ada lima aset penghidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi di dalam upayanya mengembangkan kehidupannya yaitu:
- humane capital, yakni modal yang dimiliki manusia;
- social capital, adalah kekayaan sosial yang dimiliki komunitas;
- natural capital: adalah persediaan sumber daya alam;
- physical capital adalah infrastruktur dasar dan memproduksi barang-barang yang dibutuhkan; serta
- financial capital, yaitu sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh rakyat untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya. (DFID, 1998)
Manajemen risiko bencana dilakukan dalam suatu spektrum yang terdiri dari : pencegahan, penjinakan/mitigasi, dan kesiap-siagaan, kejadian bencana, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekontruksi (Carter, 1992). Manajemen risiko bencana adalah proses dinamis upaya-upaya penanggulangan bencana yang dilakukan secara menerus, baik melalui mekanisme eksternal maupun internal. Mekanisme eksternal merupakan mekanisme penanggulangan yang lebih memobilisasi unsur di luar masyarakat. Penanggulangan bencana dengan mekanisme internal merupakan mekanisme yang menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama dan sentral. Mekanisme eksternal dilandasi oleh pemikiran bahwa masyarakat korban masih dapat diberdayakan dan memiliki keberdayaan.
Dari sisi pendekatan cara penanganan bencana dapat dikenal dengan pendekatan akibat dan pendakatan “sebab”. Penganan bencana dengan pendakatan “akibat” terutama dilakukan dengan tindakan-tindakan gawat darurat. Upaya ini cenderung tidak akan menyelesaikan masalah. Oleh karenanya, kita perlu mempertimbangkan untuk segera melakukan penanganan bencana dengan pendekatan “sebab”, dengan melakukan pengurangan kerentanan. Karena kerentanan komunitas sebagai sasarannya, maka manajemen risiko bencana berbasis komunitas merupakan pilihan yang paling tepat.
Pembangunan kemampuan penanganan bencana ditekankan pada peningkatan kemampuan masyarakat, khususnya masyarakat pada kawasan rawan bencana, agar secara dini mampu menekan resiko ancaman tersebut. Umumnya berpangkal pada tindakan penumbuhan kemampuan masyarakat dalam menangani dan menekan akibat bencana. Untuk mencapai kondisi tersebut, lazimnya diperlukan langkah-langkah pelaksanaan kegiatan-kegiatan secara partisipatoris, bersama, oleh dan untuk masyarakat, yaitu: pengenalan jenis bencana, pemetaan daerah rawan bencana, zonasi daerah bahaya dan prakiraan resiko, pengenalan sosial budaya masyarakat daerah bahaya, penyusunan prosedur dan tata cara penanganan bencana, pemasyarakatan kesiagaan dan peningkatan kemampuan, mitigasi fisik, pengembangan teknologi bencana alam.
Dalam melakukan manajemen risiko bencana khususnya terhadap bantuan darurat dikenal ada dua model pendekatan yaitu “konvensional” dan “pemberdayaan”. (Anderson & Woodrow, 1989). Perbedaan kedua pendekatan tersebut terutama terletak kepada cara “melihat” : kondisi korban, taksiran kebutuhan, kecepatan dan ketepatan, fokus yang dibantukan; target akhir.
Di sisi lain, mekanisme dalam manajemen (penanggulangan) bencana dikenal secara (1) internal dan (2) eksternal. Mekanisme internal adalah “pola” penanggulangan bencana yang dilakukan oleh unsur-unsur masyarakat di lokasi bencana; baik berupa keluarga, organisasi sosial dan masyarakat lokal. Mekanisme ini dikenal sebagai mekanisme penanggulangan bencana secara alamaiah. Mekanisme eksternal adalah penangulangan bencana di luar unsur-unsur mekanisme internal tersebut.
Manajemen risiko bencana di Indonesia dilaksanakan dengan pendekatan konvensional dan dilakukan dengan mekanisme eksternal. Rencana kegiatan penanggulangan bencana (pada tahap-tahap prevensi, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi, rekontruksi) yang tertuang pada keputusan Menko Kesra, memposisikan masyarakat sebagai obyek. Kurang terlihat upaya penguatan masyarakat upaya mengurangi tingkat kerentanan. Pendukung pelaksanaan kegiatan tidak melibatkan masyarakat lokal dan tidak memperhatikan potensi masyarakat “korban”. Jika dicermati lebih jauh lagi, perlengkapan “baku” dalam kegiatan manajemen terdiri dari perlengkapan operasional yang mungkin “aneh” buat masyarakat.
Setelah otonomi, adalah kewajiban pemerintah daerah dan kita untuk membuat masyarakatnya yang rentan lebih berkapasitas. Tujuan akhirnya, membuat mereka mampu mengatasi semua ancaman agar tidak menjadi bencana. Kita tentu percaya, kapasitas masyarakat yang kuat akan menempatkan ancaman tetap sebagai ancaman; tidak sebagai bencana. Bukan sebaliknya, meninggalkan mereka, menisbikan keberadaan mereka, karena tidak sesuai dengan keinginan kita. Manajemen risiko bencana ini perlu dilakukan dengan mekanisme internal, yaitu mendudukkan masarakat sebagai subyek. Manajemen ini tidak menempatkan masyarakat pada posisi lemah, bodoh dan salah, nampaknya menjadi suatu kebutuhan. Tantangannya adalah bagaimana memulai melakukan pengalihan keterampilan penelitian dan perencanaan itu?
Metoda partisipatif merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendukung mekanisme internal. Asas yang melandasi mekanisme ini adalah “pemberdayaan”, yaitu memperhatikan kapasitas awal masyarakat dan kegiatan dibangun untuk masyarakat agar dapat mengembangkan kapasitasnya sendiri. Wujud nyata dari asas ini adalah perlunya lembaga-lembaga pemerintah, lembaga swasta dan lembaga swadaya masyarakat mendukung proses peningkatan kapasitas (sekaligus merupakan upaya mengurangi kerentanan) yang ada dengan sepenuh hati. (https://petrasawacana.wordpress.com/2011/02/21/analisa-risiko-bencana-dan-pengurangan-risiko-bencana/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar